Laman

Kamis, 29 Oktober 2009

TALAK

TALAK

Banyak suami istri melakukan zina dengan pasangan sendiri, karena gak ngerti soal talaq...!! Menurut sebagian besar ulama. Kata talaq dapat jatuh dengan kata-kata yang sepadan dengan talaq.
Seperti misalnya :

- Ungkapan ya sudah pulang aja ke rumah orang tua kamu sana...!!!
- Atau... ya udah kita cerai aja...!!!
- Atau... Ya udah cari aja pasangan lain...!!!
- Atau... Ya udah kita cukup sampai di sini aja...!!!
- Seperti kita benar-benar tidak cocok lagi. Kita pisah aja ya...?

Untuk pasangan suami istri sebaiknya klo tidak ada niatan talaq, sebaiknya menghindari ungkapan2 ungkapan yang mengarah kepada arti perceraian...
Tolong banyak cari tahu mengenai talaq, iddah dan rujuq

Satu hal yang suami sering kali melakukan kesalahan ini tanpa sadar....
- Ia mampu berlaku baik, adil, santun, bisa bertenggang rasa terhadap orang lain tetapi ternyata dengan orang yang
paling dekat dengannya ia tak mampu...
- Dengan istri yang selalu menemani dia dalam suka dan duka....
- Bisa ga marah dengan teman... tapi mudah marah dengan istri.
- Bisa dermawan dengan orang lain... tapi pelit sama istri...
- Bisa adil dengan orang lain... tapi zhalim sama istri.

Ingat....!!!! Pertanyaan kedua setelah shalat....
Adalah perlakuan suami kepada istrinya...
Ga sempurna kebaikan dengan orang jauh... kalo dengan yang terdekat kita zhalim...
Ga berarti derma kita dengan yg jauh klo dengan yg dekat kita cacat...!!!
Semoga Allah mengampuni segala kekhilapan kita...!!!
Semoga mutiara di gemgaman kita akan tampak sebagai mutiara....
Semoga pandangan yang tertutup kabut nafsu....
Pada akhirya dengan kesadaran ...bisa menghilangkan kabut-kabut yang menghalangi penglihatan bathin.
Bersandarlah pada sandaran yang kokoh.
Bersandarlah pada guru....!!!


Pengertian Talak
Yang dimaksud dengan talak adalah pemutusan tali perkawinan. Talak merupakan sesuatu yang disyar’iatkan. Dan yang menjadi dasarnya adalah Al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’.
Hikmah Talak
Dari uraian bab-bab sebelumnya kita mengetahui beberapa perhatian Islam terhadap usrah muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatanya serta terhadap damainya kehidupan di dalamnya dan kita juga melihat metode-metode terapi yang Islam syari’atkan untuk mengatasi segala perpecahan yang muncul di tengah usrah muslimah, baik disebabkan oleh salah satu suami isteri atau oleh keduanya.
Hanya saja, terkadang ’ilaj (terapi dan upaya penyelesaian) tidak bisa efektif lagi karena perpecahannya sudah parah dan persengketaanya sudah memuncak, sehingga pada saat itu mesti di tempuh ’ilaj yang lebih, yaitu talak.
Orang yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam masalah talak akan kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi rumah tangga dan keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami isteri. Karena itu, tatkala Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan kesempatan menjatuhkan talak hanya sekali yang kemudian hubugan kedua suami isteri terputus begitu saja selama-lamanya, tidak demikian, namun memberlakukannya sampai beberapa kali.



Allah SWT berfirman, ”Talak (yang dapat di rujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan orang yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).



Apabila seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau talak kedua, maka ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dari rumahnya sebelum berakhir masa idahnya, bahkan sang isteri tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin dari suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat menginginkan segera hilangnya amarah yang menyulut api perceraian. Kemudian Islam menganjurkan agar kehidupan harmonis rumah tangga, bisa segera pulih kembali seperti semula, dan inilah yang disebutkan Rabb kita dalam firman-Nya, ”Hai Nabi jika kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau melakukan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq: 1)

Yaitu barang kali pihak suami menyesal atas keputusan mentalak isterinya, dan Allah Ta’ala menjadikan di dalam kalbunya keinginan kuat untuk rujuk (kembali) kepadanya sehingga yang demikian lebih mudah dan lebih gampang untuk proses rujuk.
Klasifikasi Talak
1. Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh thalaq.

Dengan redaksi talak di atas, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).

Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya.
Dengan redaksi talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.

Dari Aisyah r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah saw. dan beliau (kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi minka (aku berlindung kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, karena itu hendaklah engkau bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i VI:150).
Dari Ka’ab bin Malik r.a., ketika ia dan dua rekannya tidak bicara oleh Nabi saw, karena mereka tidak ikut bersama beliau pada waktu perang Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah mengirim utusan menemui Ka’ab (agar menyampaikan pesan Beliau kepadanya), ’Hendaklah engkau menjauhi isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus mentalaknya, ataukah apa yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar menjauhinya, jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata, kepada isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan Nasa’i VI:152).
2. Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Redaksi talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah.

Redaksi talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : ’Engkau tertalak’.

Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.

Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya.

Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.

3. Talak Dilihat dari Segi Argumentasi
Ditilik dari sisi ini talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i
Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya.

Allah SWT berfirman, ”Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do’a yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).

”Hai Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut :
Ketika Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang haidh, maka Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu beliau menjawab, ”Perintahkan anakmu supaya ruju’ (kembali) kepada isterinya itu kemudian teruskanlah pernikahan tersebut hingga ia suci dari haidh, lalu haidh kembali dan kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu jika berkehendak ia boleh menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093 no:1471, ’Aunul Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu Daud, dan Nasa’i VI:138).

Adapun talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak.

Hukum talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang haidh, maka tetap jatuh satu talaknya. Namun jika itu adalah talak raj’i, maka ia diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau ia mau teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah sebelum mencampurinya. Sebagaimana yang Nabi saw perintahkan kepada Ibnu Umar r.a..

Adapun dalil tentang jatuhnya talak bid’i ialah riwayat Imam Bukhari:
Dari Sa’id Jubir dari Ibnu Umar ra, ia berkata, ”Ia (isteriku) terhitung untukku satu talak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:128 dan Fathul Bari IX no:5253).
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX:353 menulis sebagai berikut :
”Sesungguhnya Nabi saw. yang memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk kepada isterinya dan beliau pulalah yang membimbingnya mengenai apa yang hendak ia lakukan bila ia ingin mentalak isterinya setelah suci dari haidh yang kedua. Dan manakala Ibnu Umar menginformasikan, bahwa ia telah menjatuhkan talak satu pada isterinya itu maka kemungkinan, bahwa pihak yang menganggap jatuh talak satu dari Ibnu Umar itu, selain Nabi adalah kemungkinan yang amat sangat jauh, karena dalam kisah ini banyak perintah isyarat yang menunjuka kepada, jatuhnya talak satu itu. Bagaimana mungkin bisea dikhayalkan bahwa Abdullah bin Umar dalam kasus ini mengerjakan sesuatu berdasar rasional semata, padahal di yang meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah marah atas perbuatannya itu?

Bagaimana mungkin ia tidak mengajak beliau musyawarah mengenai apa yang ia lakukan dalam kisah itu?”

Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Dalam Musnadnya, Ibnu Wahib meriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Naf’i pernah menginformasikan kepadanya bahwa Ibnu Umar r.a. pernah mencerai isterinya yang sedang haidh. Kemudian Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka jawab Beliau, ”Perintahkanlah dia supaya ruju’ kepada isterinya, kemudian teruskanlah pernikahannya hingga isterinya suci.” Kemudian Ibnu Abi Dzi’b dalam hadits ini meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda, ”Itu talak satu.” Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan (lagi) dari Hanzhalah bin Abi Sufyan bahwa ia pernah mendengar Salim meriwayatkan dari bapaknya, dari Nabi saw tentang pernyataan itu.

Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Daruquthni meriwayatkan dari jalu Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Abi Ishaq keduanya dari Naf’i:
Dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw., Beliau saw. bersabda, ”Itu talak satu” (sanadnya Shahih Irwa-ul Ghalil VII:134 dan Daruquthani IV:9 no:24).
Dan ini adalah (yang sudah jelas) dalam permasalahan yang diperselisihkan, maka (bagi kita) untuk mengikuti nash ini.

Talak Tiga

Adapun seorang suami yang mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu kalimat, atau dalam satu majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam Muslim:
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Talak pada periode Rasulullah saw, Abu Bakar dan beberapa tahun pada masa khalifah Umar talak tiga, (sekaligus) jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra berkata, ”Sesungguhnya orang-orang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan (thalak) ini, yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami berlakukan mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka.” (Muslom II: 1099 no:1472).

Pendapat Umar ini adalah ijtihad dia sendiri yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan menurut pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa Rasulullah saw. dan yang menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa Beliau dan pada masa khalifah Beliau. Selesai.
4. Talak Ditinjau dari Segi Boleh Tidaknya Rujuk
Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan talak bain (tak ada lagi hak suami untuk rujuk kepada isterinya). Talak bain terbagi dua, yakni bainunah shughra dan bainunah kubra.

Talak raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dari isteri dan sebagai talak pertama atau talak kedua.

Allah SWT befirman, ”Talak (yang dirujuki) dua klia. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).

Wanita yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha dari pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya. Allah SWT berfirman, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 627 - 635.

Beda antara Talak dan Cerai

Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya ingin bertanya sebagai berikut:
1. Apakah bila suami isteri bertengkar, dan suami mengatakan kata “cerai” sebanyak 3 kali dan perkataan itu diucapkan dalam kedaan emosi atau mungkin tidak sadar maka itu sudah dianggap talak 3 jatuh kepada isteri dan detik itu juga haram bagi suami untuk menggauli isterinya. Dan bila suami isteri tadi hendak baikan lagi maka si isteri harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
2. Mohon sedikit penjelasan mengenai surat al-Baqaroh ayat 230, tentang talak tiga, dikaitkan dengan pertanyaan di atas.
3. Kenapa wanita harus menunggu masa id’ah atau suci 3 kali?
Demikian pertanyaan saya, sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Rizqid

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Beda cerai dengan talak adalah kalau cerai itu bahasa Indonesia, sedangkan talak itu bahasa arab. Namun dari segi pengertian, hukum dan konsekuensi, antara keduanya tidak ada bedanya. Talak dan cerai memang satu hal yang sama, kecuali hanya masalah bahasa.
Jatuhnya talak atau cerai cukup dengan sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh suami. Tidak perlu ada yang mendengarkannya, saksi atau pengakuan dari pemerintah, bahkan isteri tidak dengar sekalipun, bila suami sudah mengatakan untuk mencerai isterinya, maka jatuhlah cerai kepada isterinya. Dan kalau syarat sahnya talak itu bukan dalam keadaan emosi, maka nyaris semua talak itu selalu jatuh dalam keadaan emosi.
Berbeda dengan hasil kompilasi hukum Islam di negeri ini, di mana cerai itu membutuhkan keputusan pengadilan agama. Selama palu pak hakim belum diketukkan dan surat keputusan cerai belum keluar, maka hubungan suami isteri dianggap masih berlangsung oleh hukum buatan manusia ini. Padahal boleh jadi suami sudah mengucapkan lafadz cerai sehari tiga kali, persis orang minum obat.
Sedangkan di mata Allah SWT, begitu seorang suami mengucapkan lafadz cerai, talaq, firaq dan padanannya dalam semua bahasa, maka saat itu juga terjadilah hukum baru, yaitu suami telah menjatuhkan satu talaq pada isterinya.
Namun selepas dari mengucapkan lafadz talak ini, bukan berarti pasangan itu langsung terputus hubungannya. Sebab masih ada rujuk yang juga bisa dilakukan saat itu juga. Jadi baik talak atau rujuk, keduanya bisa dilakukan secara singkat, langsung dan berlaku saat itu juga.
Seperti yang berlaku pada talak, maka di dalam rujuk pun tidak dibutuhkan saksi, pengakuan dari orang lain atau bahkan surat dari pengadilan agama. Ketika seorang suami menyesal telah mengucapkan lafadz talak kepada isterinya, saat itu juga dia bisa melakukan rujuk. Bahkan para ulama mengatakan bahwa rujuk itu tidak membutuhkan lafadz khusus, cukup suami mendatangi isterinya di ‘dalam kamar’, maka rujuk sudah terjadi.
Namun rujuk yang seperti ini hanya boleh dilakukan di dalam masa ‘iddah. Bila masa ‘iddah itu sudah berlalu, rujuk hanya boleh dilakukan dengan cara menikah ulang dari semula. Tentu dengan ijab qabul, mahar, wali yang sah serta tidak lupa dengan 2 orang saksi yang memenuhi syarat.
Tinggal pertanyaanya, berapa lama masa ‘iddah seorang isteri yang dicerai suaminya?
Jawabannya ada di dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah:228)
Ada dua versi penafsiran para ulama tentang quru’ yang dimaksud. Pertama, dan ini yang lebih kuat, yaitu masa suci dari haidh. Kedua, lama masa haidh itu sendiri.
Jadi selama tiga kali quru’ atau tiga kali suci dari haidh, seorang isteri yang dicerai suaminya masih boleh dirujuk cukup di ‘dalam kamar’, tidak perlu menggelar akad nikah ulang. Namun bila telah selesai tiga kali suci dari haidh, apa boleh buat, kalau suami mau balik lagi, dia harus menyiapkan akad nikah seolah menikah baru lagi.
Maksud Talak Tiga
Setiap pasangan suami isteri punya jumlah talak sebanyaktiga kali. Maksudnya, antara mereka berdua diberikan kesempatan terjadi talak hanya 3 kali saja seumur hidup. Baik dengan jeda atau tanpa jeda. Maksudnya tanpa jeda adalah talak yang langsung rujuk sebelum habis masa ‘iddah. Sedangkan maksud dengan jeda adalah talak yang dibiar hingga habis masa ‘iddah isteri, lalu mereka menikah lagi.
Bila suami menjatuhkan talak, disebut dengan talak satu.Dengan demikian, satu lapisan talak terkelupas, hubungan mereka segera berakhir kalau tidak segera rujuk selama masa 3 kali quru’. Selama masa ‘iddah itu, suami masih wajib memberi nafkah termasuk masih diharus bagi isteri untuk tinggal di rumah suaminya. Kalau suami tidak merujuknya, maka putuslah hubungan suami isteri di antara mereka.
Namun mereka masih boleh menikah lagi, hanya yang perlu dicatat, skor talak mereka hanya punya tersisa dua talak lagi.
Dia harus menjaga baik-baik kedua talak yang masih tersisa itu, agar jangan sampai kehilangan ketiga-tiganya. Sebab kalau sampai kehilangan tiga-tiganya, maka tidak ada lagi kesempatan buat suami isteri itu untuk rujuk lagi. Kecuali dengan adanya muhallil, yaitu isteri yang ditalak tiga (kali) itu menikah dengan laki-laki lain, dengan niat untuk membina rumah tangga selamanya. Namun bila suatu saat atas kehendak Allah SWT, suami barunya itu menceraikannya tanpa merujuknya lagi hingga selesai masa ‘iddahnya, barulah suami yang pertama berhak untuk menikahi dari semula.
Wallahu ‘alam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.



Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
  1. Talak Tiga Sekaligus. Jumhur ulama memang mengatakan bahwa talak tiga bisa jatuh bila suami mengatakannya tiga kali dalam satu majelis. Contohnya, ”Kamu saya talak, kamu syaa talak, kamu saya talak”. Maka jatuhlah talak tiga. Namun pendapat ini bukanlah satu-satunya. Karena ulama lain mengatakan bahwa lafaz seperti itu tidak menjatuhkan talak tiga tapi hanya talak satu saja. Dasarnya adalah hadits berikut:Dari Mahmud bin Labid berkata bahwa Rasulullah SAW menceritakan kepada kami tentang seorang yang menceraikan istrinya talak tiga sekaligus. Lalu Rasulullah SAW berdiri sambil marah dan berkata, ”Apakah kitabullah dipermainkan sementara aku masih berada di antara kamu?” Sampai-sampai ada seorang yang berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Ya Rasul, Bolehkah aku membunuh orang itu?” Selain itu memang dalam Al-Quran telah disebutkan bahwa talak itu berjenjang. “Talak itu dua kali” sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah.
    Kedua pendapat ini merupakan pilihan yang masing-masingnya memiliki sejumlah dalil yang kuat.
  2. Talak Tidak Butuh Saksi. Mentalak istri adalah sebuah pernyataan untuk melepaskan hubungan syar’i antara suami dengan istri. Talak dilakukan oleh suami kepada istrinya, tanpa membutuhkan saksi atau pun hadir di depan hakim. Cukup dilakukan dengan lafadz, ungkapan atau pernyataan. Dan ungkapan/lafaz cerai itu ada dua macam. Pertama lafaz yang sharih dan kedua lafaz yang majazi . a. Lafaz sharih atau lafaz yang jelas Di mana di dalam lafaz itu disebutkan secara jelas kata ‘cerai’, ‘talak’ atau ‘firaq’. Bila hal ini disebutkan, maka meski dilakukan dengan main-main, tapi talaknya tetap jatuh.Lafaz yang sharih misalnya, ”Aku ceraikan kamu.” Bila lafaz itu diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya, maka jatuhlah talaq satu. Bahkan meski itu dilakukan dengan main-main. Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang main-mainnya tetap dianggap serius, yaitu nikah, talak dan rujuk.” Dalam lain riwayat disebutkan, “nikah, talak dan membebaskan budak”.
    b. Lafaz yang bersifat kina`i, Yaitu lafaz yang tidak secara jelas menyebutkan salah satu dari tiga lafaz itu. Atau lafaz yang bisa bermakna ganda. Misalnya adalah apa yang Anda sebutkan di atas.Seperti seroang suami berkata kepada istrinya, ”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”. Dalam kasus seperti ini, maka yang menjadi titik acuannya adalah niat dari suami ketika mengucapkannya. Atau `urf yang terjadi di negeri itu.
    Misalnya, kata-kata,”Pulanglah ke rumah orang tuamu.” Apakah lafaz ini berarti thalaq atau bukan? Jawabannya tergantung niat atau kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Bila kebiasaannya lafaz itu yang digunakan untuk mencerai istri, maka jatuhlah thalak itu. Bila tidak, maka tidak.
    Talak kina`i ini tidak menjatuhkan talak kecuali bila dengan niat dari pihak suami. Jadi tergantung pada niatnya saat melafalkan lafaz kina’i itu.
  3. Istri Tidak Ditemui Saat Talak Yang terpenting istri itu tahu dan mendengar informasi bahwa dirinya sudah ditalak suaminya. Tidak ada persyaratan bahwa lafaz talaq itu harus diucapkan suami langsung di depan istrinya. Talak bisa saja disampaikan lewat tulisan atau pesan yang dibawa seseorang kepada istri. Dan talak itu sudah jatuh terhitung sejak suami mengatakannya, bukan tergantung kapan istri mengetahuinya.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
QS. ath-Thalaq (65) : 1

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
QS. ath-Thalaq (65) : 2

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
QS. ath-Thalaq (65) : 3

Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
QS. ath-Thalaq (65) : 4

Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu; dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.
QS. ath-Thalaq (65) : 5

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
QS. ath-Thalaq (65) : 6

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan.
QS. ath-Thalaq (65) : 7

Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.
QS. ath-Thalaq (65) : 8

Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.
QS. ath-Thalaq (65) : 9

Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,
QS. ath-Thalaq (65) : 10

(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.
QS. ath-Thalaq (65) : 11

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
QS. ath-Thalaq (65) : 12

Bab Talak Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Anam   
Tuesday, 28 August 2007
Pengertian Talak
Yang dimaksud dengan talak adalah pemutusan tali perkawinan. Talak merupakan sesuatu yang disyar’iatkan. Dan yang menjadi dasarnya adalah Al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’.
Hikmah Talak Dari uraian bab-bab sebelumnya kita mengetahui beberapa perhatian Islam terhadap usrah muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatanya serta terhadap damainya kehidupan di dalamnya dan kita juga melihat metode-metode terapi yang Islam syari’atkan untuk mengatasi segala perpecahan yang muncul di tengah usrah muslimah, baik disebabkan oleh salah satu suami isteri atau oleh keduanya.
Hanya saja, terkadang ’ilaj (terapi dan upaya penyelesaian) tidak bisa efektif lagi karena perpecahannya sudah parah dan persengketaanya sudah memuncak, sehingga pada saat itu mesti di tempuh ’ilaj yang lebih, yaitu talak.
Orang yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam masalah talak akan kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi rumah tangga dan keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami isteri. Karena itu, tatkala Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan kesempatan menjatuhkan talak hanya sekali yang kemudian hubugan kedua suami isteri terputus begitu saja selama-lamanya, tidak demikian, namun memberlakukannya sampai beberapa kali.
Allah SWT berfirman, Talak (yang dapat di rujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan  orang yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
Apabila seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau talak  kedua, maka ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dari rumahnya sebelum berakhir masa idahnya, bahkan sang isteri tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin dari suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat menginginkan segera hilangnya amarah yang menyulut api perceraian. Kemudian Islam menganjurkan agar kehidupan harmonis rumah tangga, bisa segera pulih kembali seperti semula, dan inilah yang disebutkan Rabb kita dalam firman-Nya,  ”Hai Nabi jika kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau melakukan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq: 1)
Yaitu barang kali pihak suami menyesal atas keputusan mentalak isterinya, dan Allah Ta’ala menjadikan di dalam kalbunya keinginan kuat untuk rujuk (kembali) kepadanya sehingga yang demikian lebih mudah dan lebih gampang untuk proses rujuk.
 
Klasifikasi Talak
1.      Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak  dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh thalaq.
Dengan redaksi talak di atas, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal  yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).
Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya.
Dengan redaksi talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.
Dari Aisyah r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah saw. dan beliau (kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi minka (aku berlindung kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat  Yang Maha Agung, karena itu hendaklah engkau bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i VI:150).
Dari Ka’ab bin Malik r.a., ketika ia dan dua rekannya tidak bicara  oleh Nabi saw, karena mereka tidak ikut bersama beliau pada waktu perang Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah mengirim utusan menemui Ka’ab (agar menyampaikan pesan Beliau kepadanya), ’Hendaklah engkau menjauhi isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus mentalaknya, ataukah apa yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar menjauhinya, jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata, kepada isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan Nasa’i VI:152).
2.      Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Redaksi talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah.
Redaksi talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : ’Engkau tertalak’.
Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya.
Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
3.      Talak Dilihat dari Segi Argumentasi
Ditilik dari sisi ini talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i
Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya.
Allah SWT berfirman, Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do’a yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
”Hai Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut :
Ketika Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang haidh, maka Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu beliau menjawab, ”Perintahkan anakmu supaya ruju’ (kembali) kepada isterinya itu kemudian teruskanlah pernikahan tersebut hingga ia suci dari haidh, lalu haidh kembali dan kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu jika berkehendak ia boleh menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093 no:1471, ’Aunul Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu Daud, dan Nasa’i VI:138).
Adapun talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak.
Hukum talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang haidh, maka tetap jatuh satu talaknya. Namun jika itu adalah talak raj’i, maka ia diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau ia mau teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah sebelum mencampurinya. Sebagaimana yang Nabi saw perintahkan kepada Ibnu Umar r.a..
Adapun dalil tentang jatuhnya talak bid’i ialah riwayat Imam Bukhari:
Dari Sa’id Jubir dari Ibnu Umar ra, ia berkata, ”Ia (isteriku) terhitung untukku satu talak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:128 dan Fathul Bari IX no:5253).
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX:353 menulis sebagai berikut :
”Sesungguhnya Nabi saw. yang memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk kepada isterinya dan beliau pulalah yang membimbingnya mengenai apa yang hendak ia lakukan bila ia ingin mentalak isterinya setelah suci dari haidh yang kedua. Dan manakala Ibnu Umar menginformasikan, bahwa ia telah menjatuhkan talak satu pada isterinya itu maka kemungkinan, bahwa pihak yang menganggap jatuh talak satu dari Ibnu Umar itu, selain Nabi adalah kemungkinan yang amat sangat jauh, karena dalam  kisah ini banyak perintah isyarat yang menunjuka kepada, jatuhnya talak satu itu. Bagaimana mungkin bisea dikhayalkan bahwa Abdullah bin Umar dalam kasus ini mengerjakan sesuatu berdasar rasional semata, padahal di yang meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah marah atas perbuatannya itu?
Bagaimana mungkin ia tidak mengajak beliau musyawarah mengenai apa yang ia lakukan dalam kisah itu?”
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Dalam Musnadnya, Ibnu Wahib meriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Naf’i pernah menginformasikan kepadanya bahwa Ibnu Umar r.a. pernah mencerai isterinya yang sedang haidh. Kemudian Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka jawab Beliau, ”Perintahkanlah dia supaya ruju’ kepada isterinya, kemudian teruskanlah pernikahannya hingga isterinya suci.” Kemudian Ibnu Abi Dzi’b dalam hadits ini  meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda, ”Itu talak satu.” Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan (lagi) dari Hanzhalah bin Abi Sufyan bahwa ia pernah mendengar Salim meriwayatkan dari bapaknya, dari Nabi saw tentang pernyataan itu.
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Daruquthni meriwayatkan dari jalu Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Abi Ishaq keduanya dari Naf’i:
Dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw., Beliau saw. bersabda, ”Itu talak satu”  (sanadnya Shahih Irwa-ul Ghalil VII:134 dan Daruquthani IV:9 no:24).
Dan ini adalah (yang sudah jelas) dalam permasalahan yang  diperselisihkan, maka (bagi kita) untuk mengikuti nash ini.

Talak Tiga

 Adapun seorang suami yang mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu kalimat, atau dalam satu majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam Muslim:
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Talak pada periode Rasulullah saw, Abu Bakar dan beberapa tahun pada masa khalifah Umar talak tiga, (sekaligus) jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra berkata, ”Sesungguhnya orang-orang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan (thalak) ini, yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami berlakukan mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka.” (Muslom II: 1099 no:1472).
Pendapat Umar ini adalah ijtihad dia sendiri yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan menurut pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa Rasulullah saw. dan yang menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa Beliau dan pada masa khalifah Beliau. Selesai.

4. Talak Ditinjau dari Segi Boleh Tidaknya Rujuk
Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan talak bain (tak ada lagi hak suami untuk rujuk kepada isterinya). Talak bain terbagi dua, yakni bainunah shughra dan bainunah kubra.
Talak raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dari isteri dan sebagai talak pertama atau talak kedua.
Allah SWT befirman, Talak (yang dirujuki) dua klia. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
Wanita yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha dari pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya. Allah SWT berfirman, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman  kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).
 
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 627 - 635.