Laman

Senin, 30 November 2009

Mencari Keberkahan Rezeki

Setiap kita pasti berharap, agar bisa mendapatkan rezeki yang halal, dan berkah. Yaitu mendapat barakah dari Allah, sehingga bisa mencukupi kebutuhan, dan bermanfaat untuk dunia dan akhirat. Di zaman moderen ini, berbagai cara untuk mendapatkan rezeki, semakin kompleks. Dari kesemuanya itu, ada yang hukumnya halal, haram, maupun subhat.


Cara mencari rezeki yang halal, tentunya dengan jalan yang tidak melanggar syariat-syariat Allah, misalnya bertani, berdagang barang-barang yang halal dan mubah, atau bekerja halal sesuai dengan ketrampilan yang kita miliki.
Adapun rezeki yang haram, misalnya yang diperoleh dari riba, judi, penipuan, jual beli barang haram, serta dari berbagai sektor maksiat (misalnya dunia musik, keartisan, pamer aurat, hingga menjual kehormatan), tindak kriminal, juga dari jalan syirik atau perdukunan. Sedangkan rezeki yang subhat, adalah yang cara memperolehnya diragukan kehalalannya, atau masih samar-samar antara halal dan haram.


Misalnya, rezeki dari orang yang bekerja di suatu perusahaan atau media, yang visi dan missinya tidak senantiasa sejalan dengan Islam, bahkan sering berlawanan. Atau rezeki yang diperoleh dengan cara mengikuti bisnis MLM yang terkadang dianggap merugikan bagi sebagian pihak tertentu, atau yang diperoleh dari berbagai cara yang ternyata bila diteliti lebih jauh, diragukan kehalalannya. Dengan menjadi pialang saham, misalnya, yang oleh sebagian ulama dikatakan identik dengan judi.

Untuk meraih keberkahan rezeki, tentunya sebisa mungkin kita harus menghindari hal-hal yang subhat, apalagi haram. Karena itu, dalam berusaha "menjemput rezeki", kita harus memperhatikan hal-hal berikut:

PASTIKAN KEHALALANNYA
Kehalalan, harus menjadi prioritas kita dalam mencari rezeki. Jangan sampai makanan yang masuk dalam tubuh kita sekeluarga, berasal dari rezeki yang haram. Dalam sebuah hadits ditegaskan bahwa setiap daging yang diberi makan dari yang haram, tempatnya adalah di neraka. Na'udzubillah....

Jadi sebisa mungkin, berbagai sektor kerja yag berbau haram atau subhat harus kita hindari. Jangan tergiur untuk mendapatkan uang atau keuntungan dengan mudah, bila harus menggunakan cara yang haram. Insyaallah, rezeki yang sedikit tetapi diperoleh dengan cara halal, akan lebih berkah dan bermanfaat daripada hasil yang banyak, namun diperoleh dengan cara haram.

TIDAK MENZHALIMI/MERUGIKAN ORANG LAIN
Keberkahan akan sulit kita peroleh, bila cara kita dalam mencari rezeki, dengan menzhalimi atau merugikan orang lain. Berbagai praktik riba, penipuan, dan mengambil barang orang lain tanpa hak, itu adalah cara-cara yang menzhalimi oang lain. Allah melarang keras pada umat-Nya, agar tidak menempuh cara ini.

Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zhalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah." (an-Nisa': 29-30)

Selain itu kita juga harus ingat, bahwa doa orang yang terzhalimi akan dikabulkan oleh Allah. Jadi, bila orang yang kita zhalimi itu mendoakan keburukan bagi kita, maka kemungkinan besar keburukan itu akan menimpa kita.

IRINGI DENGAN TAKWA DAN TAWAKAL
Halangan dan rintangan, adakalanya akan menyertai langkah kita dalam mencari rezeki. Kita harus bisa bersabar menghadapi semua itu. Pun harus tetap menjaga ketakwaan dan ketawakkalan kita. Karena Allah berfirman,
"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya; dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu." (ath-Thalaq: 2-3)

Demikian pula jika ternyata Allah memberi kita kelapangan, dan mempermudah jalan rezeki kita, maka kita tak boleh lupa untuk senantiasa mensyukurinya. Jangan sampai kemudahan itu melalaikan kita dari-Nya.

JANGAN PUTUS ASA DARI RAHMAT ALLAH
Sesungguhnya rezeki kita semua sudah ditentukan oleh Allah. Jangankan kita manusia, rezeki seluruh binatang melata di muka bumi ini pun sudah dijamin oleh Allah. Karena itu, jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, yang Maha Luas karunia-Nya. Allah berfirman,
"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah..." (az-Zumar: 53)

Yakinlah bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan, sebagaimana firman-Nya,
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain); dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap." (al-Insyirah 5-8)

TIPS BAGI PEKERJA DAN PEBISNIS
Berikut ini beberapa tips praktis untuk meraih keberkahan, bagi Anda yang berprofesi sebagai pekerja/karyawan, dan juga pebisnis/pedagang.

* Untuk Anda yang pekerja/ karyawan, tentu telah mendapatkan gaji sesuai ketentuan yang berlaku, di tempat Anda bekerja. Karena itu, bertakwalah kepada Allah. Jangan sampai Anda tergoda untuk berbuat tidak jujur, misalnya melakukan korupsi, suap-menyuap, manipulasi data, dan sebagainya. Berusahalah untuk bekerja sebaik-baiknya, dan sejujur-jujurnya.

* Untuk Anda yang pebisnis/pedagang, Anda harus selalu mengutamakan servis terhadap konsumen. Lakukan 5 hal berikut, yang insyaallah bisa mendatangkan berkah.

1. Berusahalah untuk selalu bersikap ramah dalam melayani konsumen, juga kepada siapa saja. Jadilah orang yang murah senyum, karena senyum adalah sedekah. Insyaallah jika hal ini Anda lakukan, banyak orang yang akan merasa senang terhadap diri dan pribadi Anda. Hal ini tentu akan berdampak positif pada kelancaran usaha Anda.

2. Permudahlah setiap transaksi atau urusan dengan orang lain, dan jangan suka mempersulit. Dengan begitu, insyaallah, Allah pun akan mempermudah urusan Anda.

3. Rajin-rajinlah bersilaturrahmi kepada sanak kerabat, atau mengunjungi teman-teman dan tetangga. Karena berdasarkan hadits Rasulullah n, silaturrahmi bisa menambah rezeki, dan memperpanjang usia....

4. Rajin-rajinlah bersedekah, karena dalam harta kita ada hak orang miskin. Sedekah kita, insyaallah akan "membersihkan" harta kita. Sedekah juga aka mendatangkan keberkahan, karena Allah l akan melipatgandakan harta yang kita sedekahkan dengan ikhlas.

5. Bersyukurlah atas apa yang telah kita peroleh. Sungguh, bila kita pandai bersyukur, maka insyaallah Allah akan menambahkan nikmat-Nya kepada kita. Sebaliknya bila kita ingkar dan lupa bersyukur, maka adzab Allah sudah menanti....

Selain melakukan 5 hal di atas, bila Anda memiliki pesaing, maka bersainglah dengan sehat, dan jangan saling menjatuhkan dengan cara-cara batil, yang membuat pihak lain merasa terzhalimi.
Semoga kita semua bisa mendapatkan rezeki yang penuh berkah, amiin. (*)

Sebab-sebab Terhapusnya Berkah

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syekh Bin Bazz, Saya membaca bahwa di antara dampak dari perbuatan dosa adalah siksaan dari Allah dan terhapusnya berkah, maka saya menangis karena takut kepada Allah, beri­lah petunjuk kepada saya, semoga Allah membalaskan kebaikan kepada Kalian?
Syekh Bin Bazz menjawab,
Tidak disangsikan lagi bahwa melakukan dosa termasuk penyebab kemurkaan Allah dan di antara penyebab terha­pusnya berkah, tertahan turun hujan, penguasaan musuh, seba­gaimana firman Allah,

"Dan sesungguhnya kami telah menghukum (Firaun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran." (al-A'raf: 130).

Dan Firman Allah,
"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara ­keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri " (­Ankabut :40).

Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak. Dan tersebut dalam hadits shahih dari Nabi n bahwa beliau bersabda,

????? ????????? ?????????? ????????? ??????????? ??????????

"Sesungguhnya seseorang ditahan rezekinya karena dosa yang dilakukannya. "(Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)

Setiap muslim dan muslimah wajib bersikap waspada dari ­segala dosa dan bertaubat dari dosa di masa lalu disertai berbaik sangka kepada Allah, mengharapkan ampunan-Nya, dan takut dari murka dan siksa-Nya, sebagaimana firman Allah dalam kitab-Nya yang Mulia tentang hamba-hamba-Nya yang shalih,­

"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami." (Al-Anbiya':90).
dan firman-Nya,

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (ke­pada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab­-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." ( AI-Isra' :57).

Dan firman-Nya l,
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At- Taubah :71).

Disyariatkan bagi mukmin dan mukminah agar melakukan sebab-sebab yang dibolehkan oleh Allah. Dan dengan hal tersebut, ia menggabungkan antara takut, raja' (mengharap) dan melakukan segala sebab, serta bertawakkal kepada Allah, berpegang kepada-Nya untuk mendapatkan yang dicari dan selamat dari yang ditakuti. Dan Allah yang Maha Pemurah berfirman,

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengada­kan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2-3).

Dan yang berfirman,
"Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya."(At-Thalaq:4)

Dan Dialah yang berfirman,
"Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (An-Nur: 31).

Wahai saudariku, Anda harus bertaubat kepada Allah terhadap semua dosa di masa lalu dan istiqamah (konsisten) dalam ketaatan kepada-Nya serta berbaik sangka dengan-Nya, waspada terhadap sebab-sebab kemurkaan-Nya, bergembiralah dengan kebaikan yang banyak dan akhir yang terpuji. Hanya Allah yang memberikan taufik.

Kesimpulan,
Sesungguhnya salah satu akibat berbuat dosa adalah terhapusnya berkah, maka bagi setiap muslim dan muslimah wajib bersikap waspada dari ­segala dosa dan bertaubat dari dosa di masa lalu disertai berbaik sangka kepada Allah, mengharapkan ampunan-Nya, dan takut dari murka dan siksa-Nya. Wallahu a'lam bishawab.

Sudah Bersihkah Nafkah Kita?

Salah satu kewajiban suami/kepala keluarga adalah memberikan nafkah kepada keluarganya. Segala yang dibutuhkan keluarga, menjadi tanggung jawabnya. Makanan dan minuman sehari-hari, pakaian, biaya untuk keperluan sekolah, dan lain-lainnya. Memang, memberi nafkah keluarga merupakan kewajiban. Lebih dari itu, di sana terdapat janji pahala bagi yang menunaikannya. Tentu saja bila diniatkan karena Allah.

Hal yang wajib diperhatikan, apakah nafkah yang kita berikan tersebut sudah halal? Sebab Allah tidak menerima kecuali segala sesuatu yang baik dan halal. Sehingga, jangan sampai makanan yang kita suapkan ke mulut keluarga adalah makanan yang haram atau didapat dari hasil yang haram. Begitu pula minuman, pakaian, dan segala kebutuhan yang didapatkan dari kita. Apalagi di zaman sekarang, di saat halal dan haram tak lagi dipedulikan, sebagaimana sabda Rasulullah,

Rasulullah bersabda , “Akan tiba suatu zaman di mana orang tidak peduli lagi terhadap harta yang diperoleh, apakah ia halal atau haram.” (Riwayat Bukhari).

Perlu disadari, segala sesuatu yang haram itu akan berpengaruh pada diri dan keluarga kita. Di antaranya berarti menghalangi doa mereka untuk dikabulkan oleh Allah. Di samping itu, makan makanan yang haram merupakan sebab seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya, karena jasmaninya telah disuapi dengan sesuatu yang jelek. Segala suapan yang jelek ini pun akan berpengaruh pada dirinya.

Rasulullah n sendiri begitu berhati-hati dan menjauhkan dirinya dari sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari perkara yang haram. Ini bisa diketahui salah satu dari Abu Hurairah yang menukilkan dari Rasulullah,

“Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku dapatkan sebutir kurma jatuh di atas tempat tidurku. Aku pun mengambilnya untuk kumakan. Lalu aku merasa khawatir jika kurma itu adalah kurma sedekah, maka kuletakkan lagi kurma itu.”

Yang demikian itu semestinya menjadi contoh bagi setiap muslim yang menginginkan keselamatan dan kebaikan keluarganya. Maka dari itu, marilah kita mulai berhati-hati dan berusaha untuk membersihkan setiap nafkah yang kita berikan kepada keluarga, agar keberkahan tidak hilang darinya. Mudah-mudahan pembahasan Nikah edisi ini bisa menambah wawasan para pembaca, terutama tentang bagaimana mencari nafkah yang halal dan konsekuensi apabila kita melanggarnya.

Bolehkah Tauriyah?

Mungkin banyak pembaca yang asing dengan kata "Tauriyah". Apa itu Tauriyah dan bagaimana hukumnya di tinjau dari sisi syariat Islam. Berikut penjelasan? Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkaitan tentang hal tersebut.
Syekh ditanya,
Apakah hukumnya Tauriyah? Adakah perincian padanya?
Beliau menjawab, Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan dhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat:
Pertama, kata tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
Kedua, bukan untuk perbuatan zhalim.
Jika seseorang berkata, "Saya tidak tidur selain di atas watad." Watad adalah tongkat di dinding tempat menggantungkan barang-barang. Ia berkata, "Yang saya maksud dengan watad adalah gunung." Maka ini adalah tauriyah yang benar, karena kata itu memberi kemungkinan makna tersebut dan tidak mengandung kezhaliman terhadap seseorang.
Demikian pula jikalau seseorang berkata, "Demi Allah, saya tidak tidur kecuali di bawah atap." Kemudian dia tidur di atas atap rumah, lalu berkata, "Atap yang saya maksudkan adalah langit. Maka ini juga benar. Langit dinamakan atap dalam firman-Nya,
"Dan kami jadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara," (Al-Anbiya': 32)
Jika tauriyah digunakan untuk perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh, seperti orang yang mengambil hak manusia. Kemudian dia pergi kepada hakim, sedangkan yang dianiaya tidak memiliki saksi. Lalu qadhi (hakim) meminta kepada orang yang mengambil hak tadi agar bersumpah bahwa tidak ada sedikit pun miliknya di sisi Anda. Maka dia bersumpah dan berkata, "Demi Allah, ma lahu 'indi syai' (tidak ada sedikit pun miliknya pada saya)." Maka hakim memutuskan untuknya. Kemudian sebagian orang bertanya kepadanya tentang hal tersebut dan mengingatkannya bahwa ini adalah sumpah palsu yang akan menenggelamkan pelakunya di neraka. Dan disebutkan dalam hadits,
"Siapa yang bersumpah atas sumpah palsu yang dengan sumpah itu ia bisa mengambil harta seorang muslim, ia berbuat fasik padanya, niscaya ia bertemu Allah, dan Dia sangat murka kepadanya." (Muttafaq Alaihi)
Yang bersumpah ini berkata, "Saya tidak bermaksud menafikan (membantah), dan yang saya maksudkan adalah itsbat (menetapkan). Dan niat saya pada kata "ma lahu" bahwa 'ma' adalah isim maushul, artinya: Demi Allah, yang merupakan miliknya ada pada saya." Sekalipun kata itu memberikan kemungkinan makna itu, namun hal itu adalah perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh (haram). Karena inilah disebutkan dalam sebuah hadits,
"Sumpahmu berdasarkan pembenaran yang diberikan temanmu." (Riwayat Muslim)
Takwil tidak berguna di sisi Allah  dan sekarang Anda telah bersumpah dengan sumpah yang palsu.
Jika seorang laki-laki, istrinya tertuduh melakukan tindakan jinayah (kriminal), sedangkan istrinya bebas (tidak bersalah) dari tuduhan itu, lalu ia bersumpah dan berkata, "Demi Allah, dia adalah saudari saya." Dan ia berkata, "Maksud saya dia adalah saudari saya dalam Islam." Maka ini adalah ta'ridh (sindiran/pemberian isyarat) yang benar, karena ia memang saudarinya dalam Islam, sedangkan dia dianiaya.
Kesimpulan:
Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan dhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat:
1. Kta tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
2. Bukan untuk perbuatan zhalim.
Wallahu a'lam bisshawab
[Disalin dari kitab al-Fatawa asy-Syar’iyyah fi al-Masail al-Ashriyyah min Fatawa Ulama Albalad al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid al-Juraisiy, Penerjemah Musthafa Aini, Penerbit Darul Haq]

Lisan Di Simpang Jalan

Memang tak mudah hidup di zaman yang serba susah dan penuh fitnah seperti sekarang ini, apalagi di negeri yang miskin ulama dan jauh dari cahaya ilmu, seperti di sini. Persaingan hidup yang makin keras dan pergesekan kepentingan yang makin panas, namun tanpa diimbangi dengan hati bersih dan akhlakul karimah, sering membuat siapa pun jadi serba salah. Mau ikut atau tersikut? 
 
Sangat memalukan, jika sebagai insan beriman, kita lalu menyerah begitu saja, seperti kebanyakan manusia yang makin "kreatif' dalam usaha memenuhi segala hasrat dan kebutuhannya, dengan dusta. Dusta, adalah salah satu trik yang sangat populer dan begitu mereka sukai. Dari yang sekadar kepepet, malu-malu dan terpaksa, hingga yang memang sudah ahli dan sangat menikmati, bahkan menganggapnya sebagai kebutuhan atau sarana wajib yang harus ada. 
Dari kacamata syariat, seseorang sudah cukup dikategorikan sebagai pendusta, minimal telah berbuat dusta jika dia mengatakan atau menceritakan suatu peristiwa tidak sebagaimana adanya, walaupun sama sekali tak ada niat dalam hati untuk berbohong. Lebih dari itu, perbuatan dusta, ternyata bukan persoalan sederhana dan sepele.
 
MUSLIM, PANTANG BERDUSTA
"Seorang mukmin mempunyai tabiat atas segala sifat aib kecuali khianat dan dusta." (Riwayat al- Bazzaar)
Hadits di atas secara tegas menerangkan betapa dusta tidak bisa dianggap main-main dan dipandang sebelah mata. Masih bisa dianggap wajar jika seorang muslim melakukan maksiat dan kesalahan, karena manusia memang tempat khilaf dan lupa. Namun toleransi itu, tidak berlaku lagi pada muslim yang khianat dan berdusta, apalagi yang sudah berubah jadi kebiasaan dan tabiat, sungguh suatu aib, kehinaan dan musibah yang berlipat ganda.
 
Sebenarnya, dalam norma ideologi dan adat masyarakat mana pun, dusta dan pelakunya selalu ditempatkan pada posisi tidak terpuji. Sekecil apa pun dusta tersebut, sudah cukup untuk memberi setitik noda pada wibawa dan kemuliaan seseorang di mata sekitarnya. Sebuah cela, yang bahkan mungkin tidak akan bisa hilang, melekat sebagai cacat, meski dia sendiri sudah bertobat dan terbukti tidak mengulanginya. Di sisi lain, banyak pula norma, adat, bahkan agama yang secara sadar justru melakukan kebohongan, menyalahi syariat mereka.
 
Contoh, agama Nasrani yang katanya mengajarkan kasih dan kebajikan dalam syariatnya, ternyata di lapangan menghalalkan segala cara untuk meraih pengikut. Atau dalam sistem demokrasi,  para kandidat berebut simpati massa dengan obral janji, yang mayoritas hanya omong kosong, namun masyarakat terkesan tenang-tenang saja dikibuli. Justru pejabat tukang kibul tersebut, masih saja dielu-elukan dan dihormati.
 
Ironisnya, jauhnya kita dari agama, membuat kita secara sadar atau tidak sadar, sering terjebak dalam lingkaran setan perilaku hina ini, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban.. Dalam keseharian, dusta sudah menjadi hal biasa dan seolah tidak apa-apa. Dusta, sudah begitu mudah dijumpai di mana saja, dengan pelaku siapa saja. Dalam rumah tangga misalnya, seorang suami atau istri yang selingkuh, begitu pandai berdusta di hadapan pasangannya. Dalam kondisi tertentu (demi kemaslahatan), Rasulullah memang menghalalkan dusta dalam pembicaraan antara suami istri, namun tentu tidak untuk hal seperti ini.
 
Pada perkembangannya secara umum, dusta juga sudah mengalami sangat banyak metamorfosa yang begitu canggih, penuh rekayasa dan terkadang dilindungi sistem. Hingga bagi yang tidak jeli, akan sangat susah mengenali bahwa itu adalah sebuah dusta, yang memang dibuat untuk menghancurkan dirinya, dan dirancang dengan hati-hati untuk mencabik-cabiknya menuju kebinasaan, sebagai korban.
 
Jika diteliti lebih jauh, peperangan antara manusia dengan iblis dan bala tentaranya, juga dipicu dari dusta sebagai permulaan, dengan iblis sebagai pelopornya. Dengan bujuk rayunya yang halus, dengan kepandaiannya bermain kata, dengan kelicikan yang tiada bandingannya, dia berhasil memperdaya Adam dan Hawa untuk memakan buah larangan. Dengan kata lain, ia membohongi Adam dan Hawa hingga mereka berdua terusir dari surga.
 
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
 
Dalam hadits di atas, Rasulullah mengaitkan antara keimanan kepada Allah dan hari akhir dengan perintah berkata baik. Ada tiga tingkatan, yang paling utama adalah jika harus berkata, maka jangan berucap kecuali yang baik-baik saja. Jika tidak mampu, lebih baik diam. Jika diam juga terasa berat, setidaknya katakan hal-hal yang mubah-mubah saja. Jika tidak mampu juga, bersiaplah masuk dalam arena berbahaya, yang begitu dekat dengan dosa dan neraka. 
 
BAHAYA DAN EFEK BURUK DUSTA
Bagi seorang muslim, satu balasan keburukan sudah terlalu berat untuk menanggungnya. Dusta, selain jelas tertulis sebagai amal keburukan berbuah dosa, juga berbahaya dan berdampak buruk, tak hanya bagi pelaku itu sendiri, namun juga kepada korban dusta, masyarakat di mana ia berada, hingga segala hal yang terkait dengan dirinya. 
 
Jika diperinci, beberapa efek buruk dusta di antaranya:
1. Digolongkan sebagai kelompok orang munafik, sebagaimana Rasulullah pernah bersabda,
"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat." (Riwayat Muslim)
2. Kehilangan jaminan Rasulullah untuk masuk surga.
”Barangsiapa yang mampu menjaga apa yang terdapat di antara dua janggutnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, maka aku jamin akan masuk surga.” (Muttafaq 'alaih, dari Sahl bin Sa’ad)
3. Menjauh dari jalur keselamatan.
Nabi pernah menasihati ‘Uqbah bin Amir ketika dia bertanya tentang keselamatan, lalu beliau bersabda,
”Peliharalah lidahmu, betahlah tinggal di rumahmu dan tangisilah dosa-dosamu.” (Riwayat Tirmidzi, hadits hasan)
4. Meperdekat jarak ke neraka.
”Sesungguhnya dusta itu menuntun kepada kekejian dan kekejian itu menuntun ke dalam neraka. Tidak henti-hentinya seseorang itu berdusta dan membiasakan diri dalam dusta,
sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (Muttafaqun‘alaih)
5. Menimbulkan suasana saling tidak percaya dalam masyarakat muslim.
Sungguh sangat mengerikan, jika suatu masyarakat sudah terbiasa dengan dusta. Tiada keamanan dan ketenteraman, karena masing-masing selalu saling curiga. Sebagai imbasnya, perintah untuk saling berprasangka baik kepada sesama muslim, jadi lebih sulit untuk dilaksanakan. 
6. Menebarkan keraguan dan keresahan.
Keraguan tak beda jauh dengan rasa bimbang dan resah. Ini berarti seorang pendusta selamanya menjadi sumber keresahan dan keraguan, serta menjauhkan ketenangan pada orang yang jujur.
Berkata Rasulullah,
 
”Tinggalkanlah apa-apa yang membuatmu ragu, dan ambil apa-apa yang tidak meragukanmu, karena sesungguhnya kejujuran itu adalah ketenangan dan dusta itu adalah keresahan.” (Riwayat Tirmidzi, an-Nasai, dan lainnya).
7. Merugikan orang yang "sama" dengan dia.
Sama di sini bukan berarti sama-sama pendusta, tapi lebih kepada persamaan-persamaan karakteristik visual, seperti persamaan asal daerah, suku, almamater, agama, profesi dan sebagainya. Ibarat gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga, begitu pula nasib orang yang qadarallah punya banyak persamaan seperti di atas dengan sebagian pendusta. Masyarakat kita punya kecenderungan untuk memudahkan dan meyamaratakan.
 
Meski secara umum dusta sangat dilarang, namun Rasulullah membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa, dan pembicaraan suami kepada istrinya (untuk kemaslahatan). Wallaahu a'lam. (a_mar)