Laman

Senin, 30 November 2009

Lisan Di Simpang Jalan

Memang tak mudah hidup di zaman yang serba susah dan penuh fitnah seperti sekarang ini, apalagi di negeri yang miskin ulama dan jauh dari cahaya ilmu, seperti di sini. Persaingan hidup yang makin keras dan pergesekan kepentingan yang makin panas, namun tanpa diimbangi dengan hati bersih dan akhlakul karimah, sering membuat siapa pun jadi serba salah. Mau ikut atau tersikut? 
 
Sangat memalukan, jika sebagai insan beriman, kita lalu menyerah begitu saja, seperti kebanyakan manusia yang makin "kreatif' dalam usaha memenuhi segala hasrat dan kebutuhannya, dengan dusta. Dusta, adalah salah satu trik yang sangat populer dan begitu mereka sukai. Dari yang sekadar kepepet, malu-malu dan terpaksa, hingga yang memang sudah ahli dan sangat menikmati, bahkan menganggapnya sebagai kebutuhan atau sarana wajib yang harus ada. 
Dari kacamata syariat, seseorang sudah cukup dikategorikan sebagai pendusta, minimal telah berbuat dusta jika dia mengatakan atau menceritakan suatu peristiwa tidak sebagaimana adanya, walaupun sama sekali tak ada niat dalam hati untuk berbohong. Lebih dari itu, perbuatan dusta, ternyata bukan persoalan sederhana dan sepele.
 
MUSLIM, PANTANG BERDUSTA
"Seorang mukmin mempunyai tabiat atas segala sifat aib kecuali khianat dan dusta." (Riwayat al- Bazzaar)
Hadits di atas secara tegas menerangkan betapa dusta tidak bisa dianggap main-main dan dipandang sebelah mata. Masih bisa dianggap wajar jika seorang muslim melakukan maksiat dan kesalahan, karena manusia memang tempat khilaf dan lupa. Namun toleransi itu, tidak berlaku lagi pada muslim yang khianat dan berdusta, apalagi yang sudah berubah jadi kebiasaan dan tabiat, sungguh suatu aib, kehinaan dan musibah yang berlipat ganda.
 
Sebenarnya, dalam norma ideologi dan adat masyarakat mana pun, dusta dan pelakunya selalu ditempatkan pada posisi tidak terpuji. Sekecil apa pun dusta tersebut, sudah cukup untuk memberi setitik noda pada wibawa dan kemuliaan seseorang di mata sekitarnya. Sebuah cela, yang bahkan mungkin tidak akan bisa hilang, melekat sebagai cacat, meski dia sendiri sudah bertobat dan terbukti tidak mengulanginya. Di sisi lain, banyak pula norma, adat, bahkan agama yang secara sadar justru melakukan kebohongan, menyalahi syariat mereka.
 
Contoh, agama Nasrani yang katanya mengajarkan kasih dan kebajikan dalam syariatnya, ternyata di lapangan menghalalkan segala cara untuk meraih pengikut. Atau dalam sistem demokrasi,  para kandidat berebut simpati massa dengan obral janji, yang mayoritas hanya omong kosong, namun masyarakat terkesan tenang-tenang saja dikibuli. Justru pejabat tukang kibul tersebut, masih saja dielu-elukan dan dihormati.
 
Ironisnya, jauhnya kita dari agama, membuat kita secara sadar atau tidak sadar, sering terjebak dalam lingkaran setan perilaku hina ini, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban.. Dalam keseharian, dusta sudah menjadi hal biasa dan seolah tidak apa-apa. Dusta, sudah begitu mudah dijumpai di mana saja, dengan pelaku siapa saja. Dalam rumah tangga misalnya, seorang suami atau istri yang selingkuh, begitu pandai berdusta di hadapan pasangannya. Dalam kondisi tertentu (demi kemaslahatan), Rasulullah memang menghalalkan dusta dalam pembicaraan antara suami istri, namun tentu tidak untuk hal seperti ini.
 
Pada perkembangannya secara umum, dusta juga sudah mengalami sangat banyak metamorfosa yang begitu canggih, penuh rekayasa dan terkadang dilindungi sistem. Hingga bagi yang tidak jeli, akan sangat susah mengenali bahwa itu adalah sebuah dusta, yang memang dibuat untuk menghancurkan dirinya, dan dirancang dengan hati-hati untuk mencabik-cabiknya menuju kebinasaan, sebagai korban.
 
Jika diteliti lebih jauh, peperangan antara manusia dengan iblis dan bala tentaranya, juga dipicu dari dusta sebagai permulaan, dengan iblis sebagai pelopornya. Dengan bujuk rayunya yang halus, dengan kepandaiannya bermain kata, dengan kelicikan yang tiada bandingannya, dia berhasil memperdaya Adam dan Hawa untuk memakan buah larangan. Dengan kata lain, ia membohongi Adam dan Hawa hingga mereka berdua terusir dari surga.
 
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
 
Dalam hadits di atas, Rasulullah mengaitkan antara keimanan kepada Allah dan hari akhir dengan perintah berkata baik. Ada tiga tingkatan, yang paling utama adalah jika harus berkata, maka jangan berucap kecuali yang baik-baik saja. Jika tidak mampu, lebih baik diam. Jika diam juga terasa berat, setidaknya katakan hal-hal yang mubah-mubah saja. Jika tidak mampu juga, bersiaplah masuk dalam arena berbahaya, yang begitu dekat dengan dosa dan neraka. 
 
BAHAYA DAN EFEK BURUK DUSTA
Bagi seorang muslim, satu balasan keburukan sudah terlalu berat untuk menanggungnya. Dusta, selain jelas tertulis sebagai amal keburukan berbuah dosa, juga berbahaya dan berdampak buruk, tak hanya bagi pelaku itu sendiri, namun juga kepada korban dusta, masyarakat di mana ia berada, hingga segala hal yang terkait dengan dirinya. 
 
Jika diperinci, beberapa efek buruk dusta di antaranya:
1. Digolongkan sebagai kelompok orang munafik, sebagaimana Rasulullah pernah bersabda,
"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat." (Riwayat Muslim)
2. Kehilangan jaminan Rasulullah untuk masuk surga.
”Barangsiapa yang mampu menjaga apa yang terdapat di antara dua janggutnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, maka aku jamin akan masuk surga.” (Muttafaq 'alaih, dari Sahl bin Sa’ad)
3. Menjauh dari jalur keselamatan.
Nabi pernah menasihati ‘Uqbah bin Amir ketika dia bertanya tentang keselamatan, lalu beliau bersabda,
”Peliharalah lidahmu, betahlah tinggal di rumahmu dan tangisilah dosa-dosamu.” (Riwayat Tirmidzi, hadits hasan)
4. Meperdekat jarak ke neraka.
”Sesungguhnya dusta itu menuntun kepada kekejian dan kekejian itu menuntun ke dalam neraka. Tidak henti-hentinya seseorang itu berdusta dan membiasakan diri dalam dusta,
sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (Muttafaqun‘alaih)
5. Menimbulkan suasana saling tidak percaya dalam masyarakat muslim.
Sungguh sangat mengerikan, jika suatu masyarakat sudah terbiasa dengan dusta. Tiada keamanan dan ketenteraman, karena masing-masing selalu saling curiga. Sebagai imbasnya, perintah untuk saling berprasangka baik kepada sesama muslim, jadi lebih sulit untuk dilaksanakan. 
6. Menebarkan keraguan dan keresahan.
Keraguan tak beda jauh dengan rasa bimbang dan resah. Ini berarti seorang pendusta selamanya menjadi sumber keresahan dan keraguan, serta menjauhkan ketenangan pada orang yang jujur.
Berkata Rasulullah,
 
”Tinggalkanlah apa-apa yang membuatmu ragu, dan ambil apa-apa yang tidak meragukanmu, karena sesungguhnya kejujuran itu adalah ketenangan dan dusta itu adalah keresahan.” (Riwayat Tirmidzi, an-Nasai, dan lainnya).
7. Merugikan orang yang "sama" dengan dia.
Sama di sini bukan berarti sama-sama pendusta, tapi lebih kepada persamaan-persamaan karakteristik visual, seperti persamaan asal daerah, suku, almamater, agama, profesi dan sebagainya. Ibarat gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga, begitu pula nasib orang yang qadarallah punya banyak persamaan seperti di atas dengan sebagian pendusta. Masyarakat kita punya kecenderungan untuk memudahkan dan meyamaratakan.
 
Meski secara umum dusta sangat dilarang, namun Rasulullah membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa, dan pembicaraan suami kepada istrinya (untuk kemaslahatan). Wallaahu a'lam. (a_mar)

Tidak ada komentar: