Laman

Senin, 30 November 2009

Bolehkah Tauriyah?

Mungkin banyak pembaca yang asing dengan kata "Tauriyah". Apa itu Tauriyah dan bagaimana hukumnya di tinjau dari sisi syariat Islam. Berikut penjelasan? Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkaitan tentang hal tersebut.
Syekh ditanya,
Apakah hukumnya Tauriyah? Adakah perincian padanya?
Beliau menjawab, Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan dhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat:
Pertama, kata tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
Kedua, bukan untuk perbuatan zhalim.
Jika seseorang berkata, "Saya tidak tidur selain di atas watad." Watad adalah tongkat di dinding tempat menggantungkan barang-barang. Ia berkata, "Yang saya maksud dengan watad adalah gunung." Maka ini adalah tauriyah yang benar, karena kata itu memberi kemungkinan makna tersebut dan tidak mengandung kezhaliman terhadap seseorang.
Demikian pula jikalau seseorang berkata, "Demi Allah, saya tidak tidur kecuali di bawah atap." Kemudian dia tidur di atas atap rumah, lalu berkata, "Atap yang saya maksudkan adalah langit. Maka ini juga benar. Langit dinamakan atap dalam firman-Nya,
"Dan kami jadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara," (Al-Anbiya': 32)
Jika tauriyah digunakan untuk perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh, seperti orang yang mengambil hak manusia. Kemudian dia pergi kepada hakim, sedangkan yang dianiaya tidak memiliki saksi. Lalu qadhi (hakim) meminta kepada orang yang mengambil hak tadi agar bersumpah bahwa tidak ada sedikit pun miliknya di sisi Anda. Maka dia bersumpah dan berkata, "Demi Allah, ma lahu 'indi syai' (tidak ada sedikit pun miliknya pada saya)." Maka hakim memutuskan untuknya. Kemudian sebagian orang bertanya kepadanya tentang hal tersebut dan mengingatkannya bahwa ini adalah sumpah palsu yang akan menenggelamkan pelakunya di neraka. Dan disebutkan dalam hadits,
"Siapa yang bersumpah atas sumpah palsu yang dengan sumpah itu ia bisa mengambil harta seorang muslim, ia berbuat fasik padanya, niscaya ia bertemu Allah, dan Dia sangat murka kepadanya." (Muttafaq Alaihi)
Yang bersumpah ini berkata, "Saya tidak bermaksud menafikan (membantah), dan yang saya maksudkan adalah itsbat (menetapkan). Dan niat saya pada kata "ma lahu" bahwa 'ma' adalah isim maushul, artinya: Demi Allah, yang merupakan miliknya ada pada saya." Sekalipun kata itu memberikan kemungkinan makna itu, namun hal itu adalah perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh (haram). Karena inilah disebutkan dalam sebuah hadits,
"Sumpahmu berdasarkan pembenaran yang diberikan temanmu." (Riwayat Muslim)
Takwil tidak berguna di sisi Allah  dan sekarang Anda telah bersumpah dengan sumpah yang palsu.
Jika seorang laki-laki, istrinya tertuduh melakukan tindakan jinayah (kriminal), sedangkan istrinya bebas (tidak bersalah) dari tuduhan itu, lalu ia bersumpah dan berkata, "Demi Allah, dia adalah saudari saya." Dan ia berkata, "Maksud saya dia adalah saudari saya dalam Islam." Maka ini adalah ta'ridh (sindiran/pemberian isyarat) yang benar, karena ia memang saudarinya dalam Islam, sedangkan dia dianiaya.
Kesimpulan:
Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan dhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat:
1. Kta tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
2. Bukan untuk perbuatan zhalim.
Wallahu a'lam bisshawab
[Disalin dari kitab al-Fatawa asy-Syar’iyyah fi al-Masail al-Ashriyyah min Fatawa Ulama Albalad al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid al-Juraisiy, Penerjemah Musthafa Aini, Penerbit Darul Haq]

Tidak ada komentar: