Kekalahan
kaum muslimin dalam Perang Uhud menyimpan hikmah yang luar biasa,
bahwa wali-wali Allah tidak selamanya ditolong Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akan tetapi harus diingat pula bahwa akibat atau akhir segala sesuatu
berupa kebaikan baik di dunia maupun di akhirat pasti diraih oleh
wali-wali-Nya.
Apabila
ada yang mengatakan: “Mengapa Allah membiarkan wali-wali-Nya kalah di
hadapan musuh dan tidak menolong? Maka jawabnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sungguh kalian akan Kami uji dengan kejelekan dan kebaikan sebagai fitnah.” (QS. Al-Anbia: 35)
Terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala
menguji hamba-Nya dengan kemiskinan, musibah, penyakit, dan kekalahan
sebagai fitnah untuk mengetahui siapa di antara mereka yang bersabar
dan siapa di antara mereka yang berkeluh kesah. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala
menguji mereka dengan harta, kebahagiaan, kesehatan, dan kemenangan
agar diketahui siapa di antara mereka yang benar-benar bersyukur atau
kufur nikmat.
Hikmah
di balik kekalahan kaum muslimin di Perang Uhud sangat banyak, dan
cukup sebagai hikmah yang paling besar adalah tercapainya derajat
kemuliaan mati syahid. Seandainya para sahabat tidak mengalami
kekalahan, maka tidak akan banyak yang mati syahid atau bahkan tidak ada
yang memperoleh kemuliaan mati syahid. Di samping itu, seandainya
tidak mengalami kekalahan maka kemungkinan manusia bangga, ujub,
sombong, dan lupa kepada Rabbnya. Maka dengan kekalahan seseorang akan
tawadhu, tawakal, dan meminta pertolongan kepada Allah dan tidak
bergantung dan mengandalkan kekuatan sendiri.
Benar
bahwa kekalahan para sahabat pada Perang Uhud disebabkan oleh
kesalahan yang mereka lakukan, akan tetapi kita harus beriman pada
takdir yang baik dan buruk dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menghendaki dan menetapkan demikian supaya menjadi sebab
kekalahan mereka untuk mengambil pelajaran dari hikmah yang banyak di
balik itu.
Atas
dasar ini, maka menyesali dosa dan kesalahan karena kecerobohan
seseorang hukumnya boleh bahkan dianjurkan dalam syariat sebagai
kesempurnaan taubat seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akan tetapi kita tidak boleh menyesali takdir Allah atau menyesali
sesuatu yang telah luput karena ia merupakan pintu setan sebagaimana
dalam hadis Rasulullah.
Perang Uhud Usai
Tatkala Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu
–ketika itu menjadi pemimpin pasukan kufur- meyakini kemenangan bagi
kaum Quraisy, maka dia menaiki sebuah bukit seraya memanggil kaum
muslimin dengan sekeras-keras suaranya: “Apakah di antara kalian ada
Muhammad? Ada Abu Bakr? Ada Umar?”
Hal
ini menunjukkan betapa besarnya kedudukan ketiga orang ini di antara
para sahabat dan di mata musuh bahwa menurut mereka ketiga orang inilah
tulang punggung utama dan penentu ketinggian kalimat Allah di
permukaan bumi.
Menurut
mereka apabila ketiganya telah terbunuh, maka tidak ada lagi kekuatan
bagi Islam dan akan mudah bagi mereka untuk meruntuhkan Islam dan kaum
muslimin.
Para
sahabat diam tidak menjawabnya hingga dia semakin ujub dan takabur dan
mempersembahkan rasa syukurnya kepada patung berhala tuhan
sesembahannya dengan mengatakan: “Agungkan patung Hubal.”
Maka
para sahabat menjawabnya bahwa orang-orang yang kamu sebutkan itu
ketiganya masih hidup belum terbunuh dalam peperangan ini, Allah
penolong kami sedang kalian tidak memiliki penolong.
Abu
Sufyan berseru lagi: “Kalau begitu hari untuk menentukan kemenangan
yang sesungguhnya maka kita akan kembali bertemu di medan perang pada
tahun depan di Badar.”
Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu
mengatakan demikian karena masing-masing dari kedua belah pihak telah
meraih sekali kemenangan yaitu kaum muslimin di Perang Badar sedang
kaum kafir menang di Perang Uhud Maka untuk perang penentuan sebagai
final untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang kuat dan menang di
antara keduanya, maka dia mengajak dan menjanjikan untuk mengulangi
peperangan. Maka para sahabat menjawab dan menyambut ajakan ini dengan
mengatakan: “Ya kita berjanji akan bertemu di Badar pada tahun depan.”
Dalam
kesempatan ini orang-orang kafir melampiaskan amarah dan kedengkian
mereka terhadap kaum muslimin dengan menyobek dan memotong-motong jasad
para syuhada Perang Uhud. Hindun binti Utbah radhiallahu ‘anhu (sebelum masuk islam, pen)
menyobek perut Hamzah bin Abdul Mutholin dan mengambil jantungnya lalu
memakannya. Karena dia tidak dapat menelannya maka dimuntahkannya.
Hindun juga memotong telinga dan hidungnya. Ini menunjukkan betapa
jeleknya perangai orang-orang kafir dan betapa besar dan kedengkian yang
mereka pendam di dada-dada mereka hingga saking parahnya membuat
mereka mati atau hampir mati. Firman Allah:
“Matilah kalian dengan kedengkian kalian.” (QS. Ali Imron: 119)
Setelah
orang-orang akfir merasa puas dengan kemenangan itu mereka pulang ke
Mekah akan tetapi mereka berhenti di tengah jalan dan bermaksud untuk
kembali menyerang kaum muslimin di kota Madinah karena mereka merasa
belum meraih kemenangan secara penuh sebab mereka belum membunuh
Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.
Kemudian
Rasulullah pergi mencari jenazah Hamzah dan mendapatinya dalam keadaan
tersayat-sayat maka beliau mengafaninya dan menyolatinya.
Para
sahabat dalam keadaan sakit, luka-luka, menderita kekalahan, dan
lemas, mereka mengurusi tujuh puluh jenazah para syuhada. Mereka
mengadu kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya terasa berat
bagi kami jika menggali setiap jenazah masing-masing satu galian
kubur.” Maka Rasulullah memerintahkan mereka untuk menggali kuburan
yang luas dan rapi untuk dua atau tiga orang jenazah.
Sebahagian
sahabat ingin membawa jenazah kerabat mereka untuk dimakamkan di
Madinah akan tetapi Rasulullah memerintahkan mereka agar memakamkan
jenazah di tempat mereka mati syahid.
Keteladanan Kaum Wanita
Biasanya
kaum Hawa dalam menghadapi musibah apalagi musibah kematian kerabat
dekat kurang bersabar. Akan tetapi jika seorang wanita itu berpakaian
iman dan takwa yang tinggi maka seberat apapun musibah akan menjadi
ringan baginya. Dia akan bersabar serta mengharap pahala dengan
musibahnya tersebut.
Sejarah
Islam mencatat kisah-kisah menakjubkan tentang kekuatan iman dan
kesabaran wanita-wanita sahabat dalam menerima musibah kematian
saudara, bapak, kerabat, bahkan suami mereka yang terbunuh mati syahid
di Perang Uhud.
Dikisahkan, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama para sahabat melewati sekelompok wanita dari bani Najjar. Di
antara wanita tersebut ada yang bapaknya terbunuh, saudaranya dan
suaminya. Tatkala salah seorang wanita mendengar berita kematian
saudara, bapak, suami yang dicintainya dia malah menanyakan tentang
keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
mengatakan, “Bagaimana dengan kabar Rasulullah.” Maka mereka menjawab,
“Rasulullah dalam keadaan baik.” Maka tatkala wanita tersebut melihat
Rasulullah dia mengatakan, “Semua musibah yang menimpa adalah ringan
selain musibah yang menimpamu wahai Rasulullah.”
Tatkala Shafiah binti Abdul Muthalib radhiallahu ‘anha datang untuk melihat jenazah saudaranya (Hamzah radhiallahu ‘anhu) maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada putranya (Zubair radhiallahu ‘anhu)
agar ibunya jangan melihat jenazah Hamzah karena beliau khawatir
Shafiah tidak sabar jika melihat jenazahnya yang telah disayat-sayat
oleh musuh. Maka Shafiah berkata: “Kenapa tidak boleh? sedangkan aku
telah mendengar beritanya dan aku ridha dengan musibah ini. Mereka
meninggal di jalan Allah. Saya akan bersabdar dan mengharap pahala dari
Allah dengan musibah ini.
Hamnah binti Jahsy radhiallahu ‘anha mendapat berita kematian saudaranya dan pamannya (Mus’ab bin Umair radhiallahu ‘anhu) dan beliau radhiallahu ‘anha bersabar.