Laman

Kamis, 17 September 2009

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah?

Hidup ini memang tempat ujian. Tanpa diundang atau dicari pun, masalah akan tetap kita temui. Setelah menyelesaikan masalah yang satu, maka kita akan mendapat masalah baru untuk diselesaikan. Semua itu ibarat anak sekolah yang terus mendapat soal ujian untuk bisa naik kelas.

Seorang motivator dan inspirator, Drs. Mario Teguh, MBA— dikenal juga dengan inisial MT; beliau juga guru bagi penulis dan ribuan Super Members di MTSuperClub— menasihatkan bahwa perjalanan naik kita akan selalu ditaburi dengan ujian-ujian yang akan memisahkan kita dari mereka yang tidak betul-betul menginginkan kecemerlangan hidup. Ujian-ujian itu adalah tantangan yang memanggil semua serat keberanian dan kecerdasan kita untuk membentuk kekuatan pribadi yang memenangkan rencana-rencana kita. Bila kita tidak menang sekarang, kita akan menang nanti.

Itu sebabnya, kejernihan dalam menyikapi kegagalan adalah pemungkin yang penting untuk memaksimalkan pencapaian hak kita untuk berhasil, untuk mencapai kecemerlangan yang kita cita-citakan. Pengenalan yang baik atas sifat-sifat kegagalan adalah penentu bagi ketepatan sikap dan tindakan-tindakan kita pada setiap upaya kedua kita. Maka, deskripsikanlah kegagalan dalam sifat-sifatnya yang asli.

Kegagalan adalah tanda tidak tepatnya arah. Dengannya, penyesuaian adalah nama perjalanannya.

Kegagalan adalah tanda tidak cukup baiknya cara, sehingga peningkatan adalah nama pelatihannya.

Kegagalan sebetulnya tertundanya sebuah keberhasilan. Oleh karena itu, kesabaran adalah nama penantiannya.

Kegagalan adalah tanda tidak cukupnya kekuatan. Itu sebabnya, kesungguhan adalah nama keharusannya.

Kegagalan adalah tanda akan adanya jaminan keberhasilan. Dan…, iman adalah nama keyakinannya. Marilah kita sadari bahwa kita dibedakan dari orang biasa dari cara kita menyikapi kegagalan.

Kemudian, bila kita bersedia untuk melayani impian hati kita dengan kecintaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain, kita tidak perlu lagi meramalkan keberhasilan kita. Dengannya, keberhasilan adalah hak yang pencapaiannya adalah sebuah kepastian.

Walaupun semua ustadz, kyai, da‘i, motivator dan inspirator telah menasihati kita untuk tetap tenang dalam menjalani hidup dan kehidupan, namun seringkali kita lupa, atau mungkin sengaja kita lupakan karena kita menutup diri dari nasihat. Setiap ada masalah, pikiran kita selalu resah, hati pun gelisah dibuatnya. Bahkan, kadang kala kita menyalahkan kehidupan itu sendiri. Padahal kita sudah diingatkan bahwa siapa pun yang berani menantang kehidupan, maka semua orang akan menjagokan kehidupan. Waktu memang tidak terbatas, namun waktu yang kita miliki sangat terbatas. Itulah nasihat yang sering disampaikan oleh tokoh-tokoh bijak.

Jika diri kita resah dan gundah, apa yang harus kita lakukan untuk menenangkan hati dan menentramkan jiwa? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita renungkan pertanyaan-pertanyaan pengantar berikut ini yang jawabannya sudah tersurat di dalamnya.

Siapakah yang paling mengerti sebuah lagu selain penggubahnya? Siapa yang lebih memahami lukisan selain senimannya? Siapakah yang mengenal dengan baik sebuah motor atau mobil jika bukan pabrik pembuatnya? Siapa yang lebih mengetahui indahnya sebuah bangunan bila bukan sang arsitektur? Lalu, siapa yang lebih mengerti tentang diri kita jika bukan Beliau Yang Menciptakan kita? Allah SWT jauh lebih mengerti tentang diri kita, bahkan dibandingkan kita sendiri.

Untuk menenangkan jiwa dan menentramkan hati, Allah SWT telah memberikan obat yang sangat mujarab kepada kita sebagai hamba dalam firman-Nya :

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْـمَئِنُّ ٱلْقُلـُوْبُ

Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram. (QS ar-Ra‘d [13] : 28)

‘Aidh al-Qarni menerangkan bahwa pada kalimat “menjadi tentram” mengandung arti kesejahteraan, seruan dan keindahan. Seolah-olah hati adalah tanah. Bagian datar adalah yang tentram sedang bagian terjal adalah yang keras dan gersang. Semoga awan Tuhan Yang Maha Pemurah menurunkan hujan wahyu ke dalam hati agar mendapatkan santapannya di setiap waktu dengan ijin-Nya—berupa dzikir, syukur, taubat, cinta dan rindu.

Hati yang tentram adalah hati yang bebas dari rasa takut, serta tenang mengharap janji Tuhannya dengan penuh keyakinan, tawakal dan kejujuran.

Hati yang tentram adalah hati yang terhibur dari duka cita, sehingga merasa bebas dari kegusaran dan kesedihan hati.

Hati yang tentram adalah hati yang hidup bahagia, diridhai oleh Tuhan, dan ia pun ridha pada Tuhannya.

Hati yang tentram adalah hati yang terbebas dari rasa bimbang dan terlepas dari rasa ragu; hati yang teduh, kokoh dan tak terguncang.

Hati yang tentram adalah hati yang tak terpilah-pilah, yang menyatukan kembali kekuatan dan arahnya.

Hati yang tentram adalah hati yang terpelihara dari godaan setan, dominasi hawa nafsu, serangan, tipu daya dan kejahatan musuh.

Kejujuran itu kekasih Allah. Keterusterangan merupakan sabun pencuci hati. Pengalaman itu bukti. Dan seorang pemandu jalan tidak akan membohongi rombongannya. Tidak ada satu pekerjaan yang lebih melegakan hati dan lebih agung pahalanya, selain berdzikir kepada Allah. Berdzikir adalah surga Allah di bumi-Nya. Maka, siapa yang tak pernah memasukinya, maka ia tidak akan dapat memasuki surga-Nya di akhirat kelak.

Berdzikir kepada Allah merupakan penyelamat jiwa dari pelbagai kerisauan, kegundahan, kekesalan dan guncangan.

Berdzikir kepada Allah merupakan obat, penyembuhan, kesenangan dan kehidupan.

Dzikir merupakan jalan paling mudah untuk meraih kemenangan dan kebahagiaan hakiki.

Dengan berdzikir kepada Allah, awan ketakutan, kegalauan, kecemasan dan kesedihan akan sirna.

Dengan berdzikir kepada Allah, segunung tumpukan beban dan permasalahan hidup akan runtuh dengan sendirinya.

Wahai orang yang mengeluh karena sulit tidur, yang menangis karena sakit, yang bersedih karena sebuah tragedi, dan yang berduka karena suatu musibah, sebutlah nama-Nya yang suci.

Wahai yang pikirannya tertutup mendung tebal dan kelam, ingatlah kepada Allah, pasti menemukan kebahagiaan. Wahai yang sedang diliputi kesedihan dan dibimbangkan rasa murung, ingatlah kepada Allah, niscaya menjumpai kegembiraan. Wahai yang dibebani kesulitan dan diguncangkan permasalahan, ingatlah kepada Allah, maka rasa aman pasti didapatkan. Wahai yang hatinya hancur, ingatlah kepada Allah, niscaya akan tenang.

Disebutkan sebuah hadits melalui Abu Musa al-Asy‘ari ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُهُ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Perumpamaan orang yang berdzikir mengingat Tuhannya dan orang yang tidak berdzikir mengingat-Nya sama dengan orang hidup dan mati.” (HR Bukhari)

Pertanyaannya adalah, “Apakah dalam kehidupan kita sehari-hari, jika kita gelisah, maka kita berdzikir kepada Allah untuk menentramkan hati? Ataukah kita melakukan hal yang lain?”

Coba kita tanyakan pada para pelajar, mahasiswa dan para pemuda. Jika pikiran mereka sedang ruwet dan perasaan pun tak enak, apakah mereka akan berdzikir kepada Allah untuk menenangkan jiwa? Mari kita tanyakan pada semua orang Islam, apakah cara yang diajarkan oleh Allah ini yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari ataukah cara yang lain?

Kalau disurvey, akan banyak sekali umat Islam—termasuk kita—yang tidak berdzikir kepada Allah untuk mengusir kegalauan jiwa. Mengapa? Mungkin kita akan menjawab, “Itu sudah saya lakukan, tapi kok tetap saja saya sumpek, gelisah dan resah.”

Barangkali para pelajar dan mahasiswa yang lebih terdidik dan intelek akan berujar, “Ah, itu kan dogma. Resep itu terlalu teoritis, perfeksionis, idealis dan tidak praktis!”

Kalau jawaban-jawaban kita seperti itu, entah apa yang akan kita lakukan jika kita berada di puncak bukit kesedihan atau di dasar lembah kegalauan. Tidak perlulah kita bayangkan apa yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam menjalani hidup ini.

Bukankah kita senantiasa mengucapkan dua kalimat syahadat—sebuah persaksian bahwa Allah-lah Tuhan kita? Itu berarti kita ini makhluk-Nya. Kita pun sadar bahkan hapal di luar kepala tentang rukun iman. Apakah kita lupa bahwa rukun iman yang pertama adalah percaya kepada Allah? Murid-murid di sekolah dan para mahasiswa di kampus saja harus mengikuti saran para guru dan dosen untuk bisa lulus ujian. Karyawan di perusahaan juga harus tunduk dan mengikuti peraturan yang digariskan oleh manajemen untuk bisa bertahan dan tidak dikeluarkan, apalagi jika ingin naik jabatan.

Kalau sudah seperti itu lazimnya, mengapa kita tidak mengikuti anjuran Allah? Kuatirkah kita bahwa Allah akan menjerumuskan kita kepada hal-hal yang tidak memuliakan bahkan kepada penderitaan seumur hidup? Apakah kita meragukan kemampuan Allah, sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa (Al-Qâdir Wa Al-Muqtadir) dan Maha Berdiri Sendiri/Maha Memenuhi Kebutuhan Makhluk (Al-Qayyûm)? Apakah kita mengira bahwa Allah adalah pendusta yang selalu mengabarkan berita bohong? Mâsyâ Allah. Kalau kita mengaku percaya (beriman) kepada Allah, lalu maka buktinya?

Iqbal, seorang penyair filosof asal Pakistan mengatakan, “Jika iman telah tiada, maka tidak ada lagi rasa aman. Tidak ada dunia bagi siapa saja yang tidak menghidupkan iman. Siapa rela dengan kehidupan tanpa agama, dia telah menjadikan kehancuran sebagai teman karibnya.”

Mungkin kitalah yang jarang sekali bahkan tidak pernah mengaji dan memperdalam ilmu. Bisa jadi kita mengira bahwa hal itu tidak banyak bermanfaat di kehidupan ini. Barangkali cara-cara belajar kita yang kurang tepat. Mungkin pula kita sudah mempelajari hal-hal yang terlampau jauh, padahal pondasi kita masih rapuh. Mungkin juga metode pengajarannya yang sudah waktunya dirubah. Bukankah telah dinasihatkan agar kalau seseorang mengajar orang lain, maka harus disesuaikan dengan kondisi orang yang belajar, baik latar belakang, budaya, tingkat pendidikan maupun pola pikirnya? Apakah semua ini terjadi karena kita senantiasa mengajarkan sebuah ilmu pada semua murid dengan cara yang sama? Padahal setiap orang itu unik, mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kita tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hal-hal tersebut. Marilah kita bersama-sama introspeksi (muhâsabah) diri, kemudian bersama-sama pula memperbaikinya.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa bertabiat mudah jenuh dan bosan, tidak bisa bertahan lama dalam satu seni aktivitas dzikir. Bila dipaksa melakukan satu cara saja, ia akan menampakkan kebosanan dan kejenuhan, padahal Allah tidak akan bosan hingga kita bosan. Maka, sikap yang diperlukan adalah memberikannya penyegaran dengan cara berganti-ganti dari satu seni ke seni lainnya, dari satu cara ke cara lainnya sesuai dengan waktu yang tepat. Dengan demikian jiwa akan merasa senang sehingga semangat dan ketekunannya dapat dipertahankan.

Bagaimana cara berdzikir kepada Allah yang akan menentramkan jiwa? Marilah kita pelajari dengan seksama. a. Dzikir dengan pikiran

Jika kita sedang banyak keruwetan, maka sebaiknya kita pergi ke sebuah tempat dengan pemandangan indah, misalnya pegunungan yang sejuk beserta panoramanya yang memikat atau pantai yang indah. Bisa juga pergi ke taman safari atau kebun binatang untuk melihat perangai dan tingkah laku hewan-hewan yang beraneka ragam dan lucu-lucu.

Apakah itu sama dengan rekreasi? Ya, namun beda sekali dengan rekreasi yang saat ini kita kenal. Rekreasi yang sebenarnya didesain agar pikiran kembali tenang, ternyata tidak mencapai hasilnya. Ketika pulang rekreasi pada Minggu malam, hari Senin pagi malah membuat kita mengantuk dan malas beraktivitas, baik sekolah/kuliah (menuntut ilmu) maupun bekerja (beribadah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengabdi kepada-Nya). Hasil rekreasi hanyalah setumpuk cucian dan badan keletihan. Bahkan pernah ada di sebuah perusahaan, pihak manajemen menawarkan apakah tahun itu mereka rekreasi atau dibagi uang saja, ternyata sebagian besar karyawan minta dibagi uang saja. Rekreasi yang kita kenal saat ini hanya sebuah rutinitas tanpa makna.

Hujjatul Islam (pengurai kebenaran Islam), al-Ghazali rahimahullâh memaparkan cara-cara berpikir (tafakkur) mengenai ciptaan Allah. Jika kita merenungkan makhluk Allah seraya menyertai pikir itu dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil, niscaya kita akan menyaksikan dampaknya secara langsung terhadap hati dan jiwa.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Âli ‘Imrân [3] : 190-191)

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah… (QS al-A‘râf [7] : 185)

Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?

Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata,

untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). (QS Qâf [50] : 6-8)

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS al-Mulk [67] : 3)

أَحَبُّ عِبَادَ اللهِ إِلَى اللهِ الَّذِيْنَ يُرَاعُوْنَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَاْلأَظِـلَّةَ لِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى

Hamba yang paling dicintai Allah adalah orang-orang yang memperhatikan matahari, bulan dan bayang-bayang untuk mengingat Allah. (HR Thabrani dan Hakim)

Para ulama berpesan, “Bacalah alam semesta dan renungkanlah makhluk-makhluk yang ada!” Bacalah matahari yang memancarkan sinar, bintang-gemintang yang gemerlapan, purnama yang memukau, sungai-sungai dan sumber air, tetumbuhan dan bunga, serta gunung dan lembah.

Mampukah manusia dengan kekuatan fisiknya menundukkan laut dengan ombak dan gelombang membahana? Kuasakah manusia dengan ilmunya menahan peredaran matahari untuk menambah secercah cahayanya? Bisakah manusia dengan teknologinya memperpanjang sesaat dari gelapnya malam? Seorang penyair berkata :

Perhatikan pepohonan yang memiliki ranting-ranting ranum Siapakah yang meluruskannya hingga batangnya menjadi tegak Dialah Allah yang memberinya karunia yang ditakdirkan Padanya kekuasaan Maha Agung dan hikmah yang terbagi

Syaikh Ibnu Athaillah menjelaskan, “Berpikir itu perjalanan hati di dalam semua lapangan kehidupan makhluk. Berpikir juga merupakan pelita hati. Apabila padam, maka sirnalah cahaya terang dari hati itu.”

Berpikir merupakan jalannya perasaan yang dikirimkan melalui otak manusia untuk dilaksanakan oleh anggota badan dan panca indra. Hamba Allah yang suka berpikir akan menghidupkan ruhaninya, menyegarkan otaknya dan menggiatkan pelaksanaan ibadahnya. Oleh karena itu, agama Islam menganjurkan mempergunakan akal pikiran untuk menganalisa, meneliti semua makhluk dan alam ciptaan Allah; agar iman dan keyakinan semakin hidup dan tinggi mutunya.

Bila kita mengunjungi sebuah pegunungan dengan pemandangan yang begitu menarik mata, kokoh di bawah langit biru, menyentuh relung-relung kalbu, maka katakanlah dengan lamat-lamat, “Ya Allah, betapa Engkau Maha Indah. Engkau sungguh menyukai keindahan. Lukisan yang begitu menakjubkan ini, membuat mata hamba terasa sejuk... Hati hamba pun tentram sekali berada di sini. Wahai Tuhanku, tiada satu pun yang Engkau ciptakan sia-sia. Kesempurnaan-Mu-lah yang membuat setiap bagiannya tersusun dan tertata dengan sangat teratur...”

Mata kita yang begitu sempurna diciptakan oleh-Nya akan berkaca-kaca dibuatnya. Air mata pun tak terasa akan merayap lambat menuruni hamparan pipi yang lembut. Jiwa kita pasti tenang. Nah, bukankah dengan berdzikir kepada Allah hati akan tentram?

Dari sisi medis, pengalaman indah seperti ini akan terekam dengan baik di otak. Apa yang kita lihat akan diteruskan pada bagian otak yang disebut thalamus, yang menerjemahkan dalam bahasa otak. Thalamus meneruskannya pada bagian dari otak berpikir (neocortex), yaitu visual cortex. Hasil penglihatan kita akan direkam sehingga bila kita datang lagi kita bisa mengenalinya. Dengan melakukan tafakkur seperti di atas, kita juga telah memberi rekaman yang sangat bagus pada sistem limbik (otak emosional). Hippocampus dan amygdala akan mencatat dengan detail bahwa tempat itu bisa sebagai sarana yang membawa keteduhan dan ketenangan.

Lebih jauh, kesadaran tentang keagungan dan kekuasaan Allah akan membuat tawakal kita meningkat. Kepasrahan penuh kepada Allah membuat kita mempunyai strategi penanggulangan adaptif (coping mechanism)coping adalah suatu mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Apabila coping ini berhasil, maka kita dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut dan akan merasakan beban berat menjadi ringan. yang baik. Mekanisme

Selain itu, efektifitas coping memiliki kedudukan yang amat sentral dalam ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit, baik penyakit fisik maupun psikis. Efektifitas ini tidak hanya terbatas pada sakit yang ringan saja, tetapi juga sangat efektif pada penyakit-penyakit berat. Apabila kita mempunyai mekanisme coping yang efektif dalam menghadapi stressor, maka stressor tidak akan menimbulkan stres yang berakibat kesakitan (disease), tetapi sebaliknya, stressor justru menjadi stimulan yang mendatangkan kebaikan/kesehatan (wellness) dan prestasi.

Hebatnya cara kerja otak manusia beserta kesempurnaan keseluruhan bagian tubuh adalah sarana untuk tafakkur juga. Hanya saja kita jarang sekali memperhatikan bagaimana kehebatan ciptaan Allah yang berupa manusia—diri kita sendiri. Mungkin karena kecenderungan diri kita adalah kurangnya syukur, maka kita jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak pernah melakukan perenungan atas tubuh kita, padahal Allah telah berfirman,

وَفِيْۤ أَنْفُسِـكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ

“dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS adz-Dzâriyât [51] : 21)

Coba kita perhatikan bagaimana kalau salah satu bagian tubuh kita ada yang sakit, sungguh tidak enak rasanya. Mari kita telaah lagi salah satu indra kita, yaitu mata. Sepasang mata memiliki daya tangkap yang kuat luar biasa. Mata adalah indra yang bisa menyampaikan petunjuk terkuat dan ternyata. Mata adalah indra yang sangat terkontrol kerjanya. Mata adalah pemimpin bagi jiwa yang terpercaya. Mata adalah petunjuk yang mengarahkan. Mata adalah cermin bening yang menggambarkan hakikat sesuatu apa adanya. Lewat mata, sifat-sifat manusia bisa diketahui perbedaannya. Lewat mata, berbagai obyek bisa dimengerti maksudnya. Persis seperti pepatah bilang, “Berita tidaklah sama dengan fakta.” Pandangan mata juga bisa menggantikan peran kata-kata.

Inginkah kita menukar mata kita dengan emas sebesar gunung? Apakah kita mau menjual pendengaran kita seharga perak satu bukit? Adakah kita mau membeli istana-istana yang menjulang tinggi dengan lidah kita sehingga kita bisu? Maukah kita menukar kedua tangan dan kaki kita dengan untaian mutiara, sementara tangan dan kaki kita buntung?

Maka, nikmat Allah manakah yang kita dustakan? Dengan memperhatikan, meneliti dan mempelajari tubuh manusia, sungguh kita akan mengetahui, menyaksikan dan mengakui ke-Mahakuasaan Allah. Hal itu akan membuat diri kita banyak bersyukur sehingga menjadi tenanglah diri kita dalam menghadapi setiap kejadian di kehidupan ini.

Kalau mau dibandingkan, andaikata semua profesor di dunia ini diminta untuk membuat robot yang bisa melakukan shalat berjamaah dengan baik, apakah mereka mampu? Robot-robot tersebut harus mampu mengatur shaf dengan lurus dan rapat, menghadap kiblat dan mengikuti gerakan imam dengan serempak. Setelah imam membaca surah al-Fâtihah menurut qira’ah Imam ‘Ashim dari riwayat Imam Hafsh bin Sulaiman—sebagaimana lazim diajarkan di Indonesia—semua makmum yang terdiri atas robot harus bersama-sama membaca âmîn (kabulkanlah, ya Allah). Jika robot imam batal, maka robot yang bermakmum di belakang imam akan langsung maju menggantikan. Bila ada beberapa robot mau keluar masjid sedang lainnya mau masuk masjid, maka tidak boleh bertabrakan.

Bukankah sangat sulit mewujudkannya? Tentunya semua itu membutuhkan neural network (jaringan saraf tiruan), digital image processing (pemrosesan citra digital), decision support system (sistem pendukung keputusan), sistem pakar dan gabungan berbagai disiplin ilmu. Kalau di sinetron atau film, itu memang bisa dilakukan karena yang berperan sebagai robot adalah manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Subhânallâh, betapa indahnya tafakkur seperti ini. Bukankah dengan berdzikir kepada Allah, hati ini menjadi tentram?

Bila kita berdarma wisata, di tempat wisata yang begitu memesona, angin berhembus membawa kehidupan. Itu juga salah satu tanda kedermawanan Allah Yang Maha Pengasih (Ar-Rahmân). Udara begitu lembut, tubuhnya dapat dirasa dengan indra perasa, namun wujudnya tak dapat dilihat dengan indra penglihatan. Jumlahnya seperti lautan. Burung-burung bergelayutan di udara langit, berlomba dan berenang di dalamnya dengan sayap-sayapnya, sebagaimana hewan laut berenang di dalam air.

Kemudian, marilah kita lihat bagaimana kelembutan udara dan kekuatannya bila ditekan di dalam air. Balon berisi udara tidak dapat ditenggelamkan oleh orang yang sangat kuat, sedangkan besi yang keras dan padat tenggelam bila diletakkan di atas permukaan air. Bagaimana udara itu tertahan air dengan kuatnya meskipun ia sangat lembut? Dengan hikmah inilah Allah menahan perahu dan kapal di atas permukaan air.

Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS an-Nahl [16] : 14) Lebih detail tentang air, sekarang mari kita amati awan tebal yang gelap. Bagaimana kita melihatnya terkumpul di udara yang bersih tanpa kotoran? Bagaimana Allah menciptakannya? Sekalipun awan itu ringan, tapi ia membawa banyak air dan menahannya di udara langit hingga Allah mengijinkan pengiriman air dan curahan hujan. Setiap tetes sesuai dengan ukuran dan dalam bentuk yang dikehendaki-Nya. Kita melihat awan mengguyur air ke suatu wilayah dan mengirim banyak tetesan yang terputus-putus, satu tetesan tidak mendahului dan tidak menyentuh tetesan yang lain. Bahkan, setiap tetes turun di jalan yang telah ditentukan tanpa meleset sedikit pun hingga sampai di tanah setetes demi setetes.

Coba kita renungkan. Andaikata kita mempunyai sebuah tandon di atap rumah yang menampung sekian banyak air, kemudian tandon itu kita lubangi agar meneteskan air seperti hujan, tentunya air akan mengalir secara kontinyu—tidak terputus-putus seperti hujan. Apakah kita harus membuka lalu menutup dengan cepat dan begitu seterusnya supaya tetesan air dari tandon bisa seperti air hujan? Betapa kompleksnya hal itu. Ataukah kita akan meniru cairan infus yang bisa menetes perlahan-lahan? Berapa banyak selang dan pengatur tetesan air yang diperlukan? Barangkali kita mau membuat tandon berlapis-lapis sehingga tetesan air bisa berjalan perlahan antar lapisan tandon?

Sekiranya orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang bersatu untuk mengetahui jumlah tetesan air hujan yang turun di suatu negara atau yang lebih kecil—satu propinsi—niscaya membutuhkan sekian banyak mainframe bahkan super komputer, jika tidak mau dikatakan tidak akan kuasa melakukannya. Selain itu, pada proses perubahan air yang lembut dalam udara yang amat dingin menjadi salju yang turun bertebaran seperti kapas putih, sungguh keajaiban yang tak terhingga. Tidakkah dengan berdzikir kepada Allah seperti ini membuat hati kita menjadi tentram? Dalam bait puisinya, Ibnu Hazm berpesan pada kita :

Duhai kawan tercinta Ingatlah! Dia yang menaungi bumi dengan langit-Nya Ingatlah! Semua ada dalam genggaman ilmu-Nya Dia cipta semesta raya berikut aturan yang ada Siang dan malam bergilir atas kekuasaan-Nya Dia turunkan hujan lalu tumbuhlah bebijian Dia tumbuhkan bunga dengan aneka warna Dia sebarkan aneka aroma dan keindahan Dia jadikan pepohonan hijau menyejukkan Dia ciptakan air sebagai sumber kehidupan Dia terbitkan matahari penuh cahaya Terang di pagi hari, menguning bila petang menyapa

Apabila kita pergi ke taman safari atau kebun binatang, kita bisa menyaksikan berbagai tingkah binatang. Apalagi jika terdapat pertunjukan sirkus yang menampilkan hewan-hewan terlatih, misalnya anjing laut, lumba-lumba, gajah dan singa. Perilaku hewan-hewan itu sungguh menakjubkan dan kadang membuat geli, sehingga kita pun tertawa dibuatnya. Sungguh sebuah kejadian yang tak terlupakan.

Pada saat-saat seperti itu, alangkah tentramnya hati ini jika dengan tenang kita berucap, “Maha Suci Engkau, Ya Allah. Engkaulah Sang Maha Pencipta dengan kreasi yang sangat luar biasa... Engkau ciptakan hewan-hewan ini dengan perangai dan fungsi masing-masing. Dunia ini pun tetap terjaga keseimbangannya walaupun terkadang makanan hewan yang satu adalah hewan lainnya. Engkaulah Yang Maha Memelihara alam semesta ini...”

Tentang tafakkur akan ciptaan Allah, dalam buku “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, ‘Aidh al-Qarni mengajak kita untuk merenungkan ayat Al-Qur’an yang membahas salah satu makhluk Allah yang menyapa kita tiap hari, yaitu waktu Subuh.

وَٱلصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ

Dan demi Subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. (QS at-Takwîr [81] : 18)

Waktu Subuh adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang menunjukkan keelokan dan keindahan ciptaan-Nya. Proses munculnya sangat indah dan wajahnya berseri memancarkan keagungan dan keindahan. Siapa yang ingin mengetahui indahnya waktu pagi hendaknya merenungkan kedatangannya usai shalat Subuh. Fajar merangkak perlahan-lahan seperti hilangnya penyakit dari dalam tubuh atau air yang merambat di atas sebatang kayu. Fajar datang merayap di belakang tentara kegelapan, kemudian menggulungnya. Alam semesta laksana raut wajah yang sedang berseri, lekuk-lekuknya bersinar, dan bibirnya menyungging senyum ceria.

Alangkah indahnya waktu pagi! Angin sepoi berhembus, cahaya sendu nan hangat memancar, dan derap langkah kehidupan mulai bergerak. Bunga-bunga bermekaran dengan angkuh, pepohonan berembun, dan dedaunan mengembang seolah bibir sepasang kekasih yang melontarkan pertanyaan yang membingungkan. Serbuk sari pun terbelah seperti mata para kekasih mengedipkan rahasia-rahasia terpendam.

Di pagi hari, suara bergema, embun menetes, angin gemerisik, air gemericik, burung pipit berkicau, merpati bersajak, dan bulbul bernyanyi. Di pagi hari, para petani pergi ke sawah, penggembala menggiring kawanan dombanya ke padang, siswa pergi ke sekolah, dokter pergi ke rumah sakit, pedagang membuka kedai, pegawai berangkat ke pabrik dan profesional ke kantornya. Pendek kata, waktu pagi adalah tanda dimulainya kehidupan baru, Lanjut......

Tidak ada komentar: