Laman

Sabtu, 29 Mei 2010

DAMPAK PSIKOLOGI ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANGTUA

Marvin Dari waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya terus meningkat.
Maraknya tayangan infotainment di televisi yang menyiarkan parade
artis dan public figure yang mengakhiri perkawinan mereka melalui meja
pengadilan, seakan mengesahkan bahwa perceraian merupakan tren.

Sepertinya kesakralan dan makna perkawinan sudah tidak lagi berarti.
Pasangan yang akan bercerai sibuk mencari pembenaran akan keputusan
mereka untuk berpisah. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada
yang bakal sangat menderita dengan keputusan tersebut, yaitu anak-anak.

Namun, fenomena perceraian marak terjadi bukan hanya di kalangan artis
atau public figure saja. Di dalam keluarga sederhana, bahkan di dalam
lingkungan pendidik, lingkungan yang tampak religius, perceraian juga
banyak terjadi.

Salah satunya terjadi pada Pak Edy (bukan nama sesungguhnya), seorang
dosen yang bukan lagi junior

Sambil bertanya, sekilas ia menjelaskan kesulitannya mengasuh anak
satu-satunya yang berusia empat tahun. Doni, nama anak itu, menjadi
sangat nakal dan tidak mau ditinggal bekerja oleh ayahnya. Di akhir
Cerita, Pak Edy baru mengaku bahwa ia telah berpisah dengan istrinya
karena ketidakcocokan. Ayu, bocah berumur delapan tahun, mengalami
perubahan sangat memprihatinkan setelah orangtuanya bercerai. Ta
enggan berangkat ke sekolah. Sebab, di lingkungan dia belajar itu
banyak temannya yang bertanyatanya tentang kasus perceraian orangtuanya.

Ayu menjadi malu, merasa dirinya sangat buruk karena memiliki orangtua
yang bercerai. Dalam hati Ayu juga merasa marah kepada ayah dan ibunya
kenapa mereka sering bertengkar dan saling marah. Akibatnya, sulit
baginya mengharapkan bisa bepergian sekeluarga ke mal atau keluar kota
untuk berlibur, seperti yang dialami teman-temannya.

Sejak perceraian itu semangat belajar Ayu menurun drastis, Sehingga
nilai rapornya pun merosot. Anak yang tadinya gembira dan ceria itu
berubah diam, pasif, dan murung, dengan badan yang juga semakin kurus.

Dampak Yang Di timbulkan akibat percerain Berbeda
* Seperti yang terjadi pada Doni dan Ayu, perceraian selalu saja
merupakan rentetan goncangan-goncangan yang menggoreskan luka batin
yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama anak-anak.

Sekalipun perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai
oleh orangtuanya, namun tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak
mereka.

Reaksi anak berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya. Semua
tergantung pada umur, intensitas serta lamanya konflik yang
berlangsung sebelum terjadi perceraian.

Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang
berbeda-beda. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah
berusia sekolah atau remaja biasanya merasa ikut bersalah dan
bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga merasa khawatir
terhadap akibat buruk yang akan menimpa mereka.

Bagi anak-anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan
mengacaukan kehidupan mereka. Paling tidak perceraian tersebut
menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap kehidupannya di masa kini
dan di masa depan. Anak-anak yang ayah-ibunya bercerai sangat
menderita, dan mungkin lebih menderita daripada orangtuanya sendiri.

Akibat Emosional

Dalam suatu perceraian, orangtua mencurahkan seluruh waktu dan
uangnya untuk saling bertikai mengenai harta, tunjangan uang yang akan
diberikan suami setelah bercerai, hak pemeliharaan anak, dan hak-hak lain.

Sementara itu, mereka hanya mencurahkan sedikit waktu atau usaha untuk
mengurangi akibat emosional yang menimpa anak-anaknya.

Pengacara yang terlibat dalam perceraian tersebut, sesuai tugasnya
memang hanya memfokuskan diri pada masalah hukum saja. Biasanya mereka
kurang memperhatikan akibat emosional pada diri anak-anak yang jadi
korban dalam peristiwa perceraian tersebut.

Mereka umumnya kurang ikut memikirkan bagaimana memberikan konseling
kepada kliennya, dalam hal ini orangtua yang mau bercerai, tentang
cara-cara terbaik dalam membantu anak-anak mengatasi dan menyesuaikan
diri dengan situasi yang ada.

Walaupun orangtua telah berusaha menyelesaikan perceraian dengan
hati-hati dan damai, tidak ada cara yang dapat mereka lakukan untuk
menghindari akibat negatif terhadap anak-anak.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi orangtua yang dalam proses
perceraian untuk sebaik mungkin mengambil usaha-usaha khusus untuk
meminimalkan penderitaan dan kesusahan anak-anaknya. Ini membutuhkan
perhatian dan usaha aktif dari pihak orangtua.

Dampak Perceraian Sampai Dua Tahun.
* Umumnya anak-anak yang orangtuanya bercerai dilanda
perasaan-perasaan kehilangan (hilangnya satu anggota keluarga: ayah
atau ibunya), gagal, kurang percaya diri, kecewa, marah, dan benci
yang amat sangat.

Richard Bugeiski dan Anthony M. Graziano (1980) menyatakan bahwa dua
tahun pertama setelah terjadinya perceraian merupakan masa-masa yang
amat sulit bagi anak-anak. Mereka biasanya kehilangan minat untuk
pergi dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, bersikap bermusuhan,
agresif depresi, dan dalam beberapa kasus ada yang bunuh diri.

Anak-anak yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik
dan stres akibat perceraian tersebut seperti insomnia (sulit tidur),
kehilangan nafsu makan, dan beberapa penyakit kulit.

Riset menunjukkan, setelah kira-kira dua tahun mengalami masa sulit
dengan perceraian orangtuanya, sampailah anak-anak tersebut ke masa
keseimbangan atau masa equilibrium. Di masa itu, kesusahan dan
penderitaan akut yang mereka alami sejak terjadinya perceraian mulai
berkurang.

Anak-anak telah belajar menyesuaikan diri dan melanjutkan kehidupan
mereka. Namun, perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang
menyakitkan bagi mereka.

Selain beberapa dampak di atas, dalam beberapa kasus terjadi anak yang
orangtuanya bercerai, pada saat dewasa, menjadi takut untuk menikah.
Dia khawatir perkawinannya nanti akan mengalami nasib yang sama
seperti orangtuanya.

Kasus yang lain, anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa jadi
membenci laki-laki atau perempuan karena menganggapnya sama dengan
ayah atau ibunya yang telah menghancurkan keluarganya.

Tidak ada komentar: